Refleksi Menuju 8 Tahun Rezim Jokowi

Oleh : Refli Sakti Sanjaya (Pengurus Remaja Masjid Nurul Iman Rimuku)

SULBARONLINE.COM, Opini —
Rezim Jokowi terhitung Sejak tanggal 20 Oktober 2014 saat disahkannya menjadi Presiden RI di periode pertama. Jokowi kembali memperpanjang kekuasaannya melalui periode ke dua di tahun 2019 dan sampai detik ini pun juga Indonesia masih dibawah kekuasaannya. Tentu berbagai ragam dinamika sangatlah mewarnai rezim ini, namun sayangnya dinamika yang tidak berpihak pada rakyat kecil masih saja mendominasi. Perwujudan dari Pasal 33 UUD tentang penegasan hak rakyat atas tanah, air, dan udara itu masih saja menjadi angan-angan belaka saat ini, bahkan di rezim jokowi ini pun peluang terwujudnya justru semakin menjauh dikarenakan berbagai produk hukum yang lahir dari perselingkuhan antara negara dengan korporasi asing yang meskipun jelas-jelas bertentangan dengan UUD.

Parahnya, sampai di rezim Jokowi produk hukum yang dimaksud itu selain terawat dengan baik juga justru jumlahnya bertambah, hal ini membuktikan bahwa tanah, air, dan udara yang dikuasai negara tidak lagi diperuntukkan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.

Berbagai masalah nampak nyata dipermukaan selama rezim jokowi berjalan, mulai dari pembungkaman Demokrasi melalui pengesahan UU ITE yang mengontrol kebebasan berekspresi masyarakat sipil di dunia maya sekalipun juga saat bersinggungan dengan penguasa. Bahkan lembaga independent negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan anak kandung dari perjuangan reformasi juga di lemahkan melalui revisi UU yang berkaitan tentangnya. Parahnya di sisi lain telah terjadi pengesahan berbagai UU yang berpihak kepada investor asing untuk melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam di Indonesia yang berdampak pada perampasan ruang hidup masyarakat kecil, bahkan masyarakat adat tak sedikit juga yang menjadi korban seperti halnya di kinipan dan wadas. UU yang dimaksud adalah UU Ciptaker dan UU Minerba.

Beberapa pasal dalam UU Ciptaker yang disahkan di rezim jokowi ini telah membuat sentralistik kewenangan dalam hal perizinan usaha pertambangan bahkan terkait mekanisme perizinannya pun semakin dipermudah juga sehingga lebih mendukung lagi para investor asing dalam menjalankan misinya untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di negara kita. Bahkan seperti isi Pasal 162 di UU Minerba ini justru menjadi ancaman pada masyarakat karena sering merasakan kriminalisasi dari aparat jika menggangu investor asing dalam aktifitasnya mengeksploitasi SDA di Indonesia, meskipun mempertahankan ruang hidup dari upaya perampasan atas nama pembangunan ini juga sering ditafsirkan “mengganggu” karena adanya pasal seperti ini.

Di satu sisi juga maraknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat selama rezim jokowi ini berjalan. Fenomena pemukulan, penangkapan, penganiayaan oleh aparat terhadap petani, nelayan, buruh, mahasiswa, wartawan, masyarakat adat, masyarakat miskin kota dan berbagai lapisan masyarakat kecil lainnya sering terjadi saat mereka lagi berjuang mempertahankan hak nya sebagai warga negara di rezim jokowi. Belum lagi kasus pelanggaran HAM dari yang lalu-lalu seperti penculikan aktivis (wiji thukul, dkk.), pelaku pembunuhan munir, penembakan rangga, dkk. aktivis mahasiswa saat berdemonstrasi menolak pengesahan RUU KUHP di tahun 2019 yang berakibat hilangnya nyawa belum juga terusut tuntas di rezim ini. Bahkan saat ini juga sangat marak tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak khususnya di Sulawesi Barat sehingga pengesahan RUU TPKS juga sangat dianggap penting karena muatannya menjamin rehabilitasi para penyintas serta pemberian sanksi yang lebih tepat diberikan pada pelaku akan terwujud, tetapi sampai detik ini pun justru belum juga disahkan oleh rezim ini.

Yang terlucu adalah pengambilan kebijakan untuk memindahkan Ibu Kota Negara ditandai dengan disahkannya UU IKN justru sampai detik ini belum mempunyai asas yang jelas, bahkan dalam perancangan undang-undang itu sampai dengan pengesahannya sangatlah tidak mewakili suara kelompok-kelompok yang akan terdampak pada ruang hidupnya yaitu dalam hal ini masyarakat adat. Lucunya karena hanya terhitung tujuh belas hari untuk mengesahkan undang-undang ini sehingga sering jadi bualan ditengah masyarakat dengan istilah proyek ugal-ugalan. Bahkan tercatat akan ada sekitar 35 ribu jiwa warga di 12 desa yang terancam tergusur ruang hidupnya.

Tentunya UU IKN ini sangatlah dinilai cacat prosedural karena melanggar UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan UU IKN yang melahirkan proyek pembangunan ibu kota negara seluas 256.142 Hektar di Provinsi Kalimantan Timur dengan kucuran anggaran sebesar 466 Triliun ini dinilai tidaklah substansial bagi pilihan kerja-kerja negara dibawah rezim jokowi saat ini, karena dianggap lebih substansi jika dialokasikan untuk memulihkan dan memenuhi hak-hak dasar rakyat Indonesia.

Belum kelar berbagai masalah yang telah ditimbulkan selama tujuh tahun oleh rezim ini, muncul lagi wacana soal penundaan pemilu 2024 yang juga membersamai wacana jokowi 3 periode untuk menjabat presiden dengan alasan pemberian kesempatan kepada presiden jokowi dalam menyelesaikan tugasnya yang dianggap penting untuk diselesaikan pun mendapat respon kontra dari berbagai elemen, namun masih saja dapat dukungan dari beberapa oligarki partai politik dan komunitas-komunitas siluman melalui sikap kelembagaannya. Padahal diketahui bersama bahwa wacana tersebut justru bisa memperkosa amanat UUD 1945 bahkan penghianatan pada TAP MPR no.13 Tahun 1998 hasil dari perjuangan reformasi yang semuanya jelas mengatur tentang pembatasan kekuasaan. Tentunya melalui wacana penundaan pemilu dan 3 periode jokowi justru menggambarkan sifatnya sebagai penguasa hari ini yang ingin sewenang-wenangnya merombak hukum demi mewujudkan kepentingannya dalam memperpanjang kekuasaan.

Membaca penetapan harga baik BBM ataupun bahan pokok dari tahun ke tahun khususnya selama rezim jokowi justru mengalami kenaikan yang signifikan. Bahkan hal yang lebih nyata baru-baru ini fenomena kelangkaan minyak goreng kemasan baik di pasar tradisional maupun modern berubah menjadi kenaikan harga yang sangat mengagetkan dari Rp.14.000 menjadi kisaran Rp.23.000-24.000 per liternya yang tentu justru menyengsarakan masyarakat khususnya kalangan ekonomi menengah kebawah. Kenaikan harga tersebut diakibatkan tercabutnya permendag yang mengatur tentang HET (Harga eceran tertinggi) minyak goreng kemasan atas respon tidak stabilnya distribusi minyak goreng ke pasar-pasar dan juga salah satunya karena pengelolaan minyak sawit mentah (CPO) akhir-akhir ini lebih cenderung terarah pada produksi bahan bakar biodiesel sebagai pengganti yang tadinya cenderung untuk diperuntukan pada produksi minyak goreng kemasan (bahan jadi), tentu alasannya tak jauh dari tingkatan keuntungannya. Terlepas dari itu seharusnya negara mampu menghadirkan solusi atas kenaikan berbagai harga yang tentunya bisa lebih di buat berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.

Persoalan BBM saat ini pun semakin mencekik rakyat kecil, setelah menghilangnya bensin jenis premium perlahan-lahan, kali ini bensin jenis pertalite juga terancam di pertamina karena jumlah permintaannya sangatlah meningkat sedangkan stock semakin terbatas. Akhirnya bensin jenis pertamax mau tak mau tetap akan jadi pelarian terakhir masyarakat. Namun masalah barunya adalah bensin jenis pertamax yang kemarin diawal bulan april 2022 juga telah mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan dari sembilan ribuan menjadi dua belas sampai tiga belas ribuan. Tentu hal ini membuat masyarakat berteriak karena sangat tercekik oleh kondisi yang diketahui masing-masing masih dalam proses pemulihan dari segi ekonomi akibat dampak pandemi covid-19. Parahnya kalau BBM sudah naik pastinya akan berefek pada kenaikan harga bahan pokok juga, karena BBM merupakan hal yang paling vital dalam mendukung perputaran ekonomi masyarakat.

Teringat dua presiden yang terbilang lama menjabat presiden di Indonesia, yaitu dalam hal ini presiden sukarno dan presiden suharto. Dua presiden ini punya kesamaan motif dalam mengakhiri jabatannya, yaitu sama-sama dijatuhkan oleh gelombang aksi massa yang besar. Bahkan alasan munculnya gelombang aksi massa yang besar itupun juga sama-sama dikarenakan soal kenaikan harga BBM dan Bahan Pokok.

Atas kesadaran refleksi selama rezim jokowi berkuasa di Indonesia yang sudah menuju 8 tahun ini, tentunya masih banyak lagi berbagai permasalahan hanya saja terbatas untuk dicatat. Namun narasi ini diharap lebih bisa menjadi sebuah alat penyambung kesadaran awal yang dianggap telah terputus atas berbagai kesibukan aktifitas kita selaku warga negara Indonesia. Tentu sangatlah penting mendiskusikan uraian dari hasil refleksi di atas yang sangat tidak tertata rapi dan baik. Pentingnya bukan karena momentuman saja, bukan juga jadi ajang pamer ketajaman analisis, apalagi ajang pamer kekayaan isi kepala, melainkan semuanya tak terlepas dari kesadaran atas persamaan nasib sebagai rakyat Indonesia.