Kolisi Masyarakat Sipil Ajukan Judicial Review Soal UU Narkotika ke MK

SULBARONLINE.COM, Nasional – Koalisi masyarakat sipil bersama 3 orang ibu dari anak-anak dengan penyakit lumpuh otak atau celebral palsy yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi.

Para pemohon perseorangan dari tiga orang ibu yang masing-masing anaknya didiagnosa penyakit tersebut. Diantara anak yang didiagnosa sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia.

“Ketika berada di Indonesia, pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan. Olehnya, adanya larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan sehingga kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak dapat diperbaiki atau ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat dijangkau,” tulis siaran pers Koalisi masyarakat sipil yang diterima Sulbaronline.com, Kamis (19/11/20).

Koalisi masyarakat sipil menjelaskan, pemohon berdalil bahwa pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1).

Selain pemohon perseorangan tersebut, beberapa lembaga non-pemerintah juga bergabung sebagai para pemohon dalam uji materil ini yakni ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara yang selama ini banyak menyoroti masalah pengaturan dan penegakan UU Narkotika.

“Sebagaimana diketahui, pasal-pasal karet dalam UU Narkotika yang perumusannya sangat luas dan multitafsir telah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk juga menyasar orang-orang yang menggunakan narkotika meskipun dengan tujuan pengobatan,” terangnya.

Koalisi masyarakat sipil mencontohkan, hal ini terjadi dalam kasus Fidelis pada 2017 di Sanggau serta kasus terbaru yang sempat muncul yakni kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei 2020. Padahal dalam UU Narkotika khususnya Pasal 4 huruf a sebenarnya telah ditekankan bahwa tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi,” tegasnya.

Koalisi meminta penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut defenisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan atauterapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Koalisi berharap Pengajuan uji materil ini dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali ide dasar pemanfaatan narkotika yakni untuk kepentingan kesehatan.

“Hal ini dapat dilihat sebagai kritik yang keras terhadap penerapan kebijakan narkotika di Indonesia yang saat ini terlampau berat pada metode penegakan hukum pidana. Kebijakan narkotika sudah saatnya mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah,” jelasnya.

“ketentuan pelarangan penggunaan semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I bagi pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong adanya penelitian-penelitian klinis berorientasi untuk menggali pemanfaatan narkotika di Indonesia.” tutupnya.(ad/rl)