Oleh: Dr. Muhammad Said, S.Th.I, M.Th.I (Dosen STAIN Majene)
OPINI — Berpikir merupakan istilah yang sangat populer yang berarti sebuah aktivitas berpikir menggunakan segala potensi manusia (panca indra) atau merenung dengan cara membulatkan pikiran dan perhatian terhadap sesuatu, (Departemen Pendidikan Nasional; 485). Sedangkan pengertian reflektif dalam Kamus Filsafat” dibagi atas dua bagian yakni refleksi dalam arti umum yakni meditasi yang mendalam yang bersifat memeriksa. Sementara dalam arti khusus, reflektif berarti berpalingnya perhatian seseorang dari obyek-obyek eksternal yang berpautan dengan kesadaran, (Lorens Bagus; 944-945). Sedangkan dalam Kamus Inggris-Indonesia-Arab diartikan sesuatu yang memantul yang bersifat pemikiran dan renungan, Atabik Ali; 1077.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga dijelaskan bahwa reflektif adalah suatu gerakan atau pantulan di luar kemauan (kesadaran) sebagai jawaban dari suatu hal yang datang dari luar, (Departemen Pendidikan Nasional; 735).
Dengan demikian, berpikir reflektif Qurani secara terminologi yaitu suatu usaha dengan menggunakan panca indra atau aktivitas berpikir atau respon balik terhadap sesuatu hal dari luar sebagai jawaban untuk menemukan atau menghasilkan pemahaman dan pengetahuan yang benar berdasarkan informasi wahyu.
Dalam menemukan eksistensi dan substansi ciptaan Tuhan, al-Quran telah membuka jalan melalui fenomena alam dan sosial dengan menggunakan potensi pikiran yang esensinya bertujuan bagaimana menemukan keyakinan (akidah) yang benar terhadap keesaan dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, petunjuk al-Quran tentang konsep berpikir reflektif dapat dilihat pada al-Quran. QS. Ar-Rum: 8; dan QS. Ali Imran: 190-191. Namun sebelum menguraikan kandungan ayat tersebut, ada baiknya jika terlebih dahulu melihat kerangka berpikir filsafat.
Dalam filsafat ilmu, untuk menemukan kebenaran, memiliki teori tersendiri untuk menghasilkan kebenaran hakiki. Secara epistemologi dalam filsafat ilmu, dibahas tentang sumber kebenaran (sumber pengetahuan) dan teori kebenaran (hakikat kebenaran) yaitu: Rasionalisme: mendasarkan rasio sebagai sumber pengetahuan yang benar, (Jujun S. Sumantri, 2003; 50). Empirisme/indrawi: mendasarkan pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan yang benar, baik batiniyah maupun lahiriyah, (Poedjawijatna, 1989; 103). Fenomenologi/kritisisme: elaborasi antara rasionalisme dengan empirisme.
Intuisionisme: memperoleh ilmu secara langsung dari Tuhan, karena rasio dan indra masih memiliki keterbatasan, (Ahmad Tafsir, 2001; 26). Wahyu/agama: pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia melalui rasulnya yang diyakini kebenarannya).
Sedangkan paham tentang teori kebenaran menurut beberapa aliran, yakni: Paham idealisme: kebenaran adalah hanya mengenai seseorang yang bersangkutan. Demikian dikatakan George Berkeley, 1685-1753. Paham realisme: kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan dan kenyataan. Aliran ini dipelopori oleh Herbert Spencer, 1820-1903. Kaum pragmatis: kebenaran sebagai suatu proporsi adalah benar sepanjang proporsi itu berlaku atau memuaskan, (C.S. Peiree, 1839-1914). William James menambahnya bahwa kebenaran harus merupakan nilai dari suatu ide, (Titus dkk; 341-342). Paham fenomenologi: kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan wujud atau akibat yang menggejala sebagai sifat nyata yang merupakan norma kebenaran, (Sidi Gazalba, 1991; 38).
Selain teori di atas, disebut juga dalam teori kebenaran; Teori korespondensi (the correspondence theory of thruth), teori ini memandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan pada sesuatu yang dituju. Teori koherensi (coherence theory of truth) yakni, kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Kebenaran adalah suatu putusan yang saling berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lain yang relevan. Teori Pragmatik (the pragmatic theory of truth), teori ini memandang bahwa kenenaran tergantung kepada berfaedah tidaknya bagi manusia untuk kehidupannya. Teori Struktural Paradigmatik (the structural theory of truth), yakni, suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Teori performatik (the performative theory of truth), teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu.
Berdasar pada beberapa teori tersebut di atas, menunjukkan bahwa efistemologi kebenaran adalah suatu kegiatan berpikir untuk menemukan kebenaran. Dalam hal ini, khususnya kebenaran akidah. (Majene, 26 Agustus 2020).