Bencana, Kedaulatan, & Luka yang Tak Pernah Sejajar

Oleh: Baiq Sukma Widiawati (Pegiat Literasi)

SEMOGA kita tidak terjebak pada Perbandingan-perbandingan yang salah. “Kenapa banjir di Sumatra tidak jadi bencana nasional?”

“Aceh dulu langsung ditetapkan bencana nasional, kenapa sekarang tidak?”

Pertanyaan itu terus berulang di linimasa. Di FYP, di beranda, di Reels Instagram.

Pertanyaan ini terdengar sederhana, bahkan terasa adil. Tapi sering kali, ia lahir bukan dari upaya memahami, melainkan dari dorongan membandingkan satu dengan yg lain tanpa pijakan dan dasar argumen yang utuh. Simbol ini seolah menyalahkan pihak lain dan mendoeongnya ke jurang penuh duri lalu orang menyaksikannya.

Tulisan ini bukan pembelaan terhadap siapapun termasuk pemerintah.

Ini hanya upaya penulis untuk sedikit membuka perspektif kita semua tentang boom FYP dan reals IG yang mengiring pemikiran san pandangan kita tentang bencana. Apakah kedua bencana ini memang layak dibandingkan?

Alasannya bukan soal empati yang dipilah, melainkan soal skala, dampak, dan konsekuensi sejarah yang sangat berbeda.

Tsunami Aceh 2004 bukan sekadar bencana nasional. Ia adalah salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah dunia. Lebih dari 160 ribu jiwa meninggal. Pesisir pantai lenyap dari peta. Rumah, sekolah, rumah sakit, jalan, bandara semuanya rata dengan tanah.

Bahkan membandingkan tsunami Aceh dengan Palu pun sesungguhnya tidak sepenuhnya setara, apalagi membandingkannya dengan banjir Sumatra hari ini. Banjir Sumatra memang parah dan penderitaan korban tetap nyata tetapi ia tidak menyebabkan keruntuhan total sebuah wilayah dan sistem kehidupan sekaligus.

Empati tidak berkurang hanya karena kita menolak perbandingan yang keliru. Pada saat tsunami melanda, Aceh tidak memiliki komando daerah yang berfungsi.

Kantor bupati hilang.

Kantor wali kota lenyap.

Kantor gubernur tidak beroperasi.

Listrik mati total.

Komunikasi terputus.

Bandara lumpuh.

Jalur logistik terputus tanpa sisa.

Artinya tidak ada pemerintahan daerah yang bisa bekerja. Dalam kondisi seperti itu, negara tidak punya pilihan selain mengambil alih 100 persen penanganan.

Sementara di Sumatra hari ini, meski situasi berat, pemerintah daerah masih bekerja. Posko berjalan. Evakuasi dilakukan. TNI, Polri, BNPB turun membantu. Secara hukum dan administrasi, kondisi ini belum memenuhi syarat penetapan bencana nasional sebagaimana diatur dalam regulasi. Ini bukan soal peduli atau tidak peduli.

Ini soal mekanisme negara. Status Bencana Nasional Membuka Pintu Bantuan Internasional dan Tidak Pernah Gratis.

Ada satu hal yang sering dilupakanvbantuan internasional tidak datang tanpa harga.

Pasca tsunami Aceh 2004, dunia datang. Bantuan mengalir dari berbagai negara, termasuk Australia. Namun sebelas tahun kemudian, pada 2015, bantuan itu diungkit kembali.

Perdana Menteri Australia saat itu, secara terbuka mengingatkan Indonesia tentang bantuan satu miliar dolar Australia pasca tsunami Aceh dengan harapan Indonesia mempertimbangkan pembatalan eksekusi mati dua terpidana narkotika asal Australia.

Di situlah kita belajar satu pelajaran pahit bahwa bantuan asing, suatu hari, bisa berubah menjadi alat tekan, alat tawar, bahkan alat intervensi.

Tidak semua bantuan datang dengan niat yang suci selamanya. Inilah sebabnya hari ini negara sangat berhati-hati dalam menetapkan status bencana nasional. Bukan karena menolak solidaritas dunia, tetapi karena kedaulatan tidak bisa dibayar dengan rasa terima kasih abadi.

Bencana tidak pernah meminta untuk diperlombakan. Dan luka tidak pernah minta untuk diadu. Mungkin sudah waktunya kita berhenti bertanya,

“Kenapa tidak seperti Aceh?”

Dan mulai bertanya,

“Apa yang bisa saya lakukan, di sini, sekarang?”

Karena pada akhirnya, kemanusiaan tidak diukur dari status bencana, melainkan dari cara kita menjaga martabat sesama tanpa terjebak dalam perbandingan yang salah.

Leave a Reply