Penulis: Irham Adriansyah
BEBERAPA bulan belakangan ini sejak dikonfirmasi kasus positif corona pertama di Indonesia pada Senin 2 Maret lalu menyebabkan beberapa aktivitas baik dalam bidang ekonomi, pendidikan serta berbagai aktivitas lainnya terpaksa dilakukan secara daring. Tak terkecuali dalam lingkup Universitas dimana sistem perkuliahan yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka namun akibat dari pandemi Covid-19 ini memaksa seluruh civitas akademika mengurangi aktivitasnya di kampus karena dapat berdampak pada penularan wabah virus corona yang tak terkendali dibuktikan dengan semakin meningkatnya kasus positif setiap harinya. Di Indonesia sendiri hingga saat ini Selasa 20 Oktober 2020 Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melalui Website nya mengkonfirmasi sebanyak 365.240 orang yang positif terpapar virus corona.
Perkuliahan secara daring sebagai langkah yang ditempuh beberapa universitas baik swasta maupun negeri agar proses perkuliahan terus berlanjut. Beragam pro dan kontra pun muncul di tengah masyarakat khususnya mahasiswa. Mereka yang setuju dengan diterapkannya perkuliahan daring memandang bahwa metode ini sebagai satu-satunya langkah efektif dalam rangka melanjutkan proses perkuliahan di tengah situasi pandemi virus Covid-19 yang kian bergejolak. Disisi lain ada yang merasa tak setuju jika hanya mengandalkan metode perkuliahan daring karena beberapa alasan utamanya bagi mahasiswa yang kesulitan mengakses jaringan internet karena banyak dari mereka yang berada di daerah pelosok sehingga kesulitan mengakses jaringan.
Bukan hanya itu, jumlah konsumsi paket data mereka pun kian meningkat disebabkan beberapa aplikasi yang digunakan dalam perkuliahan daring membutuhkan kuota data yang tak sedikit. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri telah memberikan bantuan kepada para mahasiswa dan dosen berupa Kuota Belajar dengan besaran 50 GB per bulan dengan rincian (5GB kuota umum dan 45 GB kuota belajar), dimana sebelumnya mahasiswa diharuskan mengisi biodata dan nomor HP di website yang disediakan masing-masing universitas. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak dari mereka yang belum dapat menikmati bantuan dari pemerintah ini karena kesulitan dalam hal akses yang terbatas.
Sudah sekitar tujuh bulan lebih mahasiswa menahan diri untuk berkuliah secara tatap muka secara langsung di kampus, tidak sedikit mahasiswa yang mengeluhkan metode perkuliahan secara daring dengan berbagai alasan mulai dari sulitnya beradaptasi dengan sistem ini juga kesulitan mengerjakan tugas yang cukup berat dari dosen yang seharusnya dapat diselesaikan dengan metode perkuliahan tatap muka.
“Saya kadang kewalahan mengerjakan tugas dari dosen yang cukup berat dikerjakan dengan metode online selain itu materi yang kita dapatkan dari perkuliahan online juga lebih terbatas dari kuliah tatap muka karena kita bisa berdiskusi secara langsung di dalam kelas dengan dosen dan teman-teman yang lain sedangkan lewat aplikasi virtual mempunyai waktu yang terbatas,”keluh Puspa Ayu Putri, Mahasiswa Teknik PWK Unhas.
Walaupun demikian ini sudah menjadi hal yang mesti dihadapi mahasiswa dalam upaya untuk tetap bertahan dan menyelesaikan studinya di bangku perkuliahan walaupun dengan beragam rintangan. Proses adaptasi dengan metode online sangat dibutuhkan pada masa pandemi saat ini dalam meningkatkan kompetensi, seperti mencari sumber-sumber referensi secara mandiri dengan memanfaatkan akses jaringan yang ada.