SULBARONLINE.COM, Mamuju – Panitia dan Pengurus Remaja Masjid An Nur Karema, Kelurahan Karema, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju menggelar Maulid Nabi Muhammad SAW, Rabu (13/11/19).
Kegiatan bertema “Spirit Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Menebar Cinta Menguatkan Ukhuwah”, menghadirkan Sayyid Ahmad Fadlu Ah-Mahdaly sebagai pembawa hikmah Maulid.
Acara diawali dengan pembacaan Kitab Al Barzanji oleh Imam dan jamaah masjid An Nur. Setelah itu baru memasuki ceramah atau hikmah maulid.
Dalam kesempatannya, Sayyid Ahmad Fadlu Al Mahdaly mengatakan, pertama kali Islam datang khususnya di tanah Mandar, wajahnya sudah seperti ini, yang diisi dengan kegiatan maulid Nabi Muhammad SAW. Oleh ulama lampau, hal itu justru merupakan cara memperkenalkan agama Islam kepada umat.
“Utamanya kegiatan seperti Mammauluq (Maulid) ini. Ulama kita yang datang di Negeri ini adalah ulama yang Pammauluq. Bisa berbeda cara bermaulid dengan tempat dan daerah lain. Kalau kita ada Loka (Pisang), Tallo (Telur) atau Tiriq, dan lain-lain. Semua ada maknanya. Itu cara memperkenalkan Rasulullah SAW kepada umat. Rasul mau dikenali oleh umatnya. Dibuatlah sedemikian rupa, media seperti ini. Ada atupeq (Ketupat) Nabi. Diberi nama Atupeq Nabi. Ini kreasi ulama, sebuah kecerdasan yang luar biasa,” kata Sayyid Ahmad Fadlu.
Hal ini kata Sayyid, perlu direnungkan kembali. Banyak dalam agama Islam yang didesain sedemikian rupa, agar orang bisa menerima agama Islam dengan mudah.
“Jadi ulama kita dulu tidak dengan memperkenalkan Islam dengan makkah dari Arab. Tetapi dengan kearifan lokal yang ada dengan ajaran Agama Islam. Tapi ini dihujat sedemikian rupa oleh sebagian kelompok Islam yang baru datang, dibid’ah-bid’ahkan bahkan diharam-haramkan. Padahal kalau bicara bid’ah, maka banyak yang bid’ah. Sama dengan Al Qur’an yanh ditulis, kalau standarnya tidak ada anjuran maka itu bid’ah. Karena tidak ada anjuran dari Nabi untuk menulis Al Qur’an itu. Sahabat yang melakukan. Abu Bakar Assiddiq saja awalnya menolak. Tapi karena difikirkan sehingga ditulislah Al Qur’an. Awal ditulisnya pun jauh dari kesempurnaan. Tidak ada makhrajnya, tatti’na. Sehingga beberapa huruf itu sulit dimengerti, kecuali orang arab. Semakin berkembang, dikasih tanda baca. Jadi apakah ini juga bid’ah sebab tidak diperintahkan Nabi. Terlalu mudah kita membid’ahkan,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Sayyid mengingatkan agar siapapun umat Islam jangan lagi membid’ah-bid’ahkan maulid. Diingatkan juga kepada jamaah, bahwa pada hakikatnya, jika ada yang melarang maulid, berarti melarang umat bergembira dan mengekspresikan rasa cintanya kepada Rasulullah SAW.
“Jari muaq diangngi tau mallarang-larang pammauluq, nanapasisaraq o iting tau oh siola Rasulullah (Jika ada orang yang melarang maulid itu berarti ia ingin memisahkan anda dengan Rasulullah),” sebutnya menggunakan bahasa Mandar.
Padahal kata dia, tradisi dan ajaran yang dibawa oleh ulama Mandar masa lampau, kehidupan umat islam kala itu dipenuhi oleh berbagai tradisi islam yang lebih mendekatkan diri kepada Allah dan Rasulullah.
“Mulai acara Nikka maqbarasanji, niuri’ maqbarasanji. Mappakeqdeq boyang, mansala-salamaq maqbarasanji toi. Untuk membuat kapal saja nibarasanji’i toi. Dibolak balik ini hidup selau ada Rasulullah SAW. Makanya, kecerdasan spiritual ada pada orang tua dulu. Semua karena kecintaan kepada Rasulullah. Siapa dalam dirinya kecintaan kepada Nabi maka kata Nabi saya bersamanya di Surga,” ucapnya.
Sayyid Ahmad juga mengingatkan umat Islam agar tidak salah memilih guru dan panutan. Sebab saat ini, kata dia, kebanyak umat islam keliru memilih teladan dan panutan untuk berguru.
“Mengapa sekarang marocaq lino. Salah memilih panutan. Banyak orang memilih panutan, hanya melihat karena dia bersorban, berpakaian agamais, tapi justru mengajar kita marah, berkelahi dan bermarah-marahan. Banyak ustad yang mendorong kita marah. Sekarang banyak pengkhutbah, justru sepulang kita dari sholat jumat, membuat dada kita jadi pembenci, suka marah dan sebagainya. Padahal Nabi hadir untuk menjadi rahmat dan persatuan untuk semua,” ujarnya.
Bahkan yang lebih parah, lanjut Sayyid, saat ini adab terkikis dan ahlak mulai hilang, penghormatan kepada orang tua nyaris lenyap, tidak sopan dan sebagainya.
“Dan akhirnya perilaku kita kadangkala orang tua kita yang kena. ‘Siapa itu, ohh anakna ia anu’. Jadi karena adab dan ahlak kita jelek orang tua yang jadi sasaran. Olehnya panutan kita yaitu Rasulullah SAW. Nabi diutus untuk menjadi rahmat seluruh alam. Jadi tindakan hidup kita berlandaskan rahmat dan cinta. Rahmat itu salah satu cirinya berbuat baik, manao nyama. Misalnya melihat kucing saja saat terlindas mobil, maka pasti ada iba dan belaskasih padanya. Tidak sampai di situ. Kalau ada pembagian raskin, baru semestinya engkau tak punya hak untuk menerima, tapi anda mengambil karena bertwman dengan Lurah atau Kepala Desa, sementara ada yang lebih membutuhkan, berarti anda belum menjadi rahmat. Kita harus menjadi rahmat,” jelasnya lagi.
“Jadi intinya, kalau ada orang yang datang dan memintamu jangan bermaulid, maka daq a mupendalingai (Jangan dengar dan hiraukan). Sampaikan saja, jangan bawa ajaran baru, karena saya mengikuti panrita annaq ulama,” tutup Sayyid Ahmad Fadlu Al Mahdaly yang juga tokoh Nahdlatul Ulama asal Pambusuang Polewali Mandar ini. (Ashari).