Sweeping Vaksin Mencederai Hak Asasi

Oleh : Refli Sakti Sanjaya (Aktivis PMII Cabang Mamuju)

OPINI — Di tengah derasnya ombak laut akhir tahun, deras pula rasa takut yang menyelimuti jalanan masyarakat karena hadirnya pos vaksin. Hampir di tiap sudut jalan terdapat pos vaksin yang sepenuhnya diisi oleh APH (Aparat Penegak Hukum) berbadan tegar dan berlengan lebar menjalankan tugas dari pimpinan negara untuk mewujudkan target vaksinasi sebesar 70% di berbagai daerah. Di balik itu juga hampir setiap hari sebagian masyarakat merasa terancam dan ketakutan jika melintas di jalur yang terdapat pos vaksin.

Proses vaksinasi di berbagai sudut jalan menggunakan cara sweeping dengan memberhentikan masyarakat yang kedapatan belum mempunyai sertifikat vaksin. Istilah “Sweeping Vaksin” kini jadi momok bagi sebagian masyarakat, khususnya yang notabene dari pelosok daerah sebab kurang mendapatkan perkembangan informasi publik karena terbatasi oleh akses.

Di satu sisi sebagian masyarakat masih terhantui oleh issu bahaya vaksin yang telah banyak memakan korban mulai dari lumpuh sampai kehilangan nyawa. Seperti halnya nasib Jenkatrin masyarakat Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat yang lumpuh setelah divaksin beberapa bulan lalu. Di sisi lain juga proses sweeping vaksin ditiap sudut jalan yang berkesan memaksa, karena jika masyarakat kedapatan tidak mempunyai sertifikat vaksin pasti langsung di suntik ditempat, semua demi tercapainya target yang diharap.

Kondisi ini memang banyak membuat sebagian masyarakat rela untuk divaksin, tapi percaya atau tidak sebagian besar dari mereka karena terpaksa demi melangsungkan pemenuhan kebutuhan hidup. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa sertifikat vaksin telah menjadi pra-syarat administrasi negara, jadi tentunya yang belum mempunyai sertifikat vaksin sebagai bukti bahwa telah divaksin justru akan selalu terhambat dalam menjalankan kelangsungan hidup sebagai warga negara. Sehingga hampir sangat jarang tidak menemukan sebagian masyarakat yang rela berhenti dan menungggu jika didepannya terdapat pos vaksin, dan jika pos telah bubar baru mereka melanjutkan perjalanannya. Bahkan sebagian juga ada yang melawan dengan cara menerobos pos demi terhindar dari pemaksaan vaksin.

Padahal sudah jelas hak kesehatan masyarakat telah diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 5, Ayat 3, yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.” itu artinya proses vaksinasi dengan cara sweeping pemaksaan demi tercapainya target 70% ini justru melanggar Undang-undang yang mengatur tentang kesehatan masyarakat.

Seharusnya butir-butir yang tercantum dalam Tribrata (Mengayomi, Melindungi, Melayani) bisa menjadi alasan kuat bagi APH jika diizinkan terlibat sebagai vaksinator, yaitu penerapannya bisa lebih menggunakan pendekatan yang humanis, tentu sangat berbeda jauh dari pemaksaan yang sifatnya mencederai hak asasi.

Khawatirnya jika terus menerus proses vaksinasi dengan cara sweeping tetap berlangsung, justru bisa malah mengikis sedikit demi sedikit kepercayaan masyarakat terhadap manfaat vaksin. Bahkan kesenjangan antara masyarakat dan APH yang terlibat sebagai Vaksinator justru bisa semakin melebar dan berakhir pada hilangnya simpati masyarakat jika terus-terusan melakukan sweeping vaksin.

Apalagi disadari situasi Negara saat ini dalam pembahasan pandemi sudah mulai redup, dibuktikan dari beberapa bulan terakhir terjadi penurunan signifikan terhadap pasien Covid-19 di berbagai daerah, tetapi mengapa proses vaksinasi masih tetap membara ? dan APH tetap menjelma jadi garda terdepan vaksinasi ? Bukankah dengan membuka pos pelayanan kesehatan dengan menambah vaksin dalam menu pelayanannya serta sepenuhnya diisi oleh tenaga kesehatan itu sudah cukup disituasi sekarang ini ?