Oleh; Dr. Muhammad Said, M.Th.I (Dosen STAIN Majene)
Dalam tradisi transformasi keilmuan, maka ada tiga unsur yang sangat prinsip dan tidak terpisahkan yakni adanya guru atau mursyid, ajaran dan murid. Salah satu dari ketiga hal tersebut tidak bisa hilang, karena jika salah satunya hilang, maka akan menjadi penyebab tradisi transformasi keilmuan kehilangan keautentikan. Imam Lapeo sebagai seorang guru atau mursyid yang bergelar “to salama”, dipastikan telah meninggalkan sebuah ajaran yakni tarekat Syaziliyah dan meninggalkan murid-murid sebagai penerus dan pewaris ilmu, yang tersebar di berbagai daerah di Sulawesi, khususnya Sulawesi Barat, tempat domisili sang wali Allah.
Pada tulisan ini, penulis fokus pada pembahasan kategorisasi murid-murid Imam Lapeo dengan mengutip pandangan Mukhlis Latif yang membagi murid-murid beliau menjadi tiga kategori, di saat sang Imam masih hidup dan melakukan dakwah dan pengajaran, yakni kategori murid khusus, murid pemberkatan dan murid umum.
Kategori murid yang pertama adalah “murid khusus” yaitu murid yang berasal dari kalangan orang dewasa. Waktu dan sistem pembelajarannya, maupun materi pelajaran yang diterima, sangat berbeda dengan murid kategori lain. Mereka belajar atau menerima secara langsung dari Imam Lapeo pada waktu tertentu, seperti di tengah malam dan berpusat di rumah kediaman Imam Lapeo. Materi yang diterima oleh murid-murid khusus adalah materi tarikat Syaziliyah berupa amalan-amalan tertentu yang terdapat dalam ajaran tarekat Syaziliyah.
Murid kategori khusus inilah, yang kemudian mendapat ijazah sebagai pewaris dan pelanjut ajaran-ajaran tarekatnya, serta pelanjut perjuangan dakwahnya dengan jalan dikirim ke daerah-daerah lain, khususnya di tanah Mandar untuk menyebarkan dan mengembangkan agama Islam.
Kategori murid yang kedua adalah “murid pemberkatan”. Kategori ini terbagi atas tiga bagian yakni;
a. Ketika ada seseorang mempunyai hajat atau keinginan untuk merantau ke daerah lain, maka ia datang kepada Imam Lapeo untuk meminta restu dan petunjuk. Misalnya meminta petunjuk tentang daerah apa yang tepat ia datangi, ataukah yang bersangkutan telah menentukan daerah yang akan dituju. Kemudian meminta pandangan Imam Lapeo tentang daerah tersebut, apakah akan bisa memberi manfaat dan peningkatan kesejahteraan hidup.
b. Ketika ada seseorang di perantauan dan merasa telah berhasil, kemudian kembali ke tanah kelahirannya di Sulbar, maka ia datang di Lapeo dengan memberi sumbangan kepada Masjid Imam Lapeo. Orang tersebut mengaku bahwa keberhasilan serta kesuksesan yang di raih di rantauan tidak terlepas dari petunjuk dan keberkahan doa Imam Lapeo sebelum berangkat.
c. Ketika ada seseorang ingin memulai usaha, maka ia datang ke Imam Lapeo meminta petunjuk dan berkah dengan mengutarakan maksudnya, ataukah ia meminta petunjuk tentang usaha apa yang cocok bagi dirinya. Selanjutnya Imam Lapeo memberi arahan kepada orang tersebut, dan ternyata di kemudian hari, ia benar-benar berhasil dalam usahanya itu, maka ia datang ke Lapeo dengan maksud menyisihkan sebagian hartanya untuk pembangunan masjid Imam Lapeo.
Kategori murid yang ketiga adalah “murid umum” yakni seluruh masyarakat yang pernah atau sering mengikuti pengajian Imam Lapeo di masjid-masjid atau rumah dengan tiga bentuk materi pengajian yaitu akidah akhlak, fikhi dan tafsir. Bentuk pengajian tersebut bersifat terbuka dalam bentuk khalaqah dan bisa diikuti oleh seluruh kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua, laki-laki maupun perempuan.
Murid dalam ketegori ini, terlihat tidak memiliki perbedaan sebagaimana pada umumnya para ulama atau tokoh agama dalam mentransfer ilmunya kepada murid-muridnya yakni ikut menyimak pengajian-pengajian yang disampaikan, baik di rumah-rumah, di masjid-masjid ataukah tempat yang memang disiapkan untuk melaksanakan pengajian.
Dengan demikian, bahwa tiga kategorisasi murid-murid Imam Lapeo tersebut, menunjukkan adanya variasi yang dinamis dalam pengajaran atau transfer ilmu sang Imam kepada masyarakat. (Majene, 11 Agustus 2020).