Oleh: St Nur Asizah Dwiana Arni (Mahasiswi Semester 5 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Universitas Hasanuddin Makassar)
SULBARONLINE.COM, Opini — Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada 10 Oktober 2022 telah diperingati sebagai World Mental Health Day (Hari Kesehatan Mental Sedunia).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementrian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan prevalensi rumah tangga dengan anggota yang menderita gangguan jiwa skizofrenia meningkat 1,7 per mil menjadi 7 per mil di tahun 2018. Gangguan mental emosional pada penduduk usia di bawah 15 tahun, juga naik dari 6,1% atau sekitar 12 juta penduduk (Riskesdas 2013) menjadi 9,8% atau sekitar 20 juta penduduk. Hal tersebut menunjukkan bahwa dewasa ini, anak dengan usia di bawah 15 tahun sedang rentan terkena gangguan mental.
Salah satu jenis dari gangguan mental adalah depresi. Depresi adalah gangguan mental yang berhubungan dengan peningkatan atau penurunan suasana hati yang berkepanjangan. Seseorang yang depresi memperlihatkan perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan, disertai perasaan sedih, serta kehilangan minat dan kegembiraan terhadap sesuatu. Ketika seseorang mengalami depresi, maka hal tersebut sangat mempengaruhi seseorang dengan cara yang berbeda, termasuk pikiran, tubuh, dan perilaku orang tersebut. Orang – orang yang masih berada pada tahap depresi ringan, sebagian besar tidak merasakan gejalanya. Namun, ketika semakin memuncak dan orang tersebut berada pada tahap depresi berat maka akan timbul gangguan suasana hati yang sulit dihindari.
Depresi dapat dirasakan oleh semua orang tanpa memandang usia. Lansia bahkan anak – anak sekalipun rentan untuk terkena depresi. Depresi pada anak memiliki faktor yang berkaitan erat dengan pola asuh dari kedua orang tuanya. Salah satu pola asuh dari orang tua yang kurang baik adalah pola asuh Push Parenting. Push parenting adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu pola asuh yang terlalu menekan hak anak, cenderung menetapkan target–target, tuntutan–tuntutan, standar–standar yang sangat mungkin melewati batas kemampuan fisik maupun psikologis anak.
Umumnya, push parenting merupakan salah satu bentuk dari pengasuhan otoriter karena orang tua hanya mendukungkeinginan anak yang sesuai dengan keinginan mereka. Tidak sedikit dijumpai orang tua memaksakan kehendaknya kepada anak dengan dalih kebaikan, namun apakah yang terbaik menurut orang tua juga merupakan yang terbaik untuk anak?
Anak yang sedari kecil hidupnya dikontrol penuh dengan orang tua akan tumbuh menjadi anak yang rentan depresi dan tidak bahagia. Tuntutan yang diterima anak terkadang membuatnya menjadi tertekan, panik, takut, bahkan akan merasa putus asa ketika tidak dapat memenuhi harapan – harapan dari orang tuanya. Tanpa orang tua sadari, perasaan–perasaan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental anak dan masa depan anak.
KESEHATAN MENTAL
Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan mental adalah keadaan sejahtera dimana setiap individu bisa mewujudkan potensi mereka sendiri. Seseorang dapat dikatakan sehat secara mental ketika ia merasa sejahtera, baik secara psikologis, emosional, maupun sosial. Kesehatan mental berpengaruh terhadap bagaimana seseorang berpikir, merasakan, bertindak, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan orang lain. Kesehatan mental yang baik dapat diperoleh dengan menghargai diri sendiri; dapat mengelola stress dengan baik; mengakui perasaan dan emosi negatif; menetapkan tujuan dengan realistis; menyayangi tubuh sendiri; serta dapat memelihara hubungan yang baik dengan orang lain.
Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu cara untuk memperoleh kesehatan mental yang baik adalah dengan mengelola stress dengan baik pula. Ketika anak yang sering menerima tuntutat dan tekanan dari orang tua, kemungkinan besar susah untuk dapat mengelola stress dengan baik. Hal ini dikarenakan banyaknya pikiran yang ada dibenak anak perihal bagaimana memenuhi harapan orang tua, bagaimana jika dia gagal, bagaimana jika orang tuanya marah, dan lain sebagainya. Pikiran–pikiran tersebut akan terus tinggal dan menghantui anak sehingga dia tidak dapat mengelola stress dengan baik karena banyaknya tekanan yang ia dapatkan.
Terdapat banyak dampak yang akan ditimbulkan dari push parenting yang tentunya sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari–hari sang anak. Push parenting membuat anak lebih mudah stress karena orang tua membuat anak terbiasa memaksakan dirinya untuk mencapai berbagai standar yang tinggi, terutama ketika anak tidak dapat memenuhi standar yang diharapkan. Dampak lainnya adalah dapat menyebabkan anak rentan mengalami gangguan kecemasan sebab orang tua cenderung tidak bisa menerima dengan baik rasa gelisah dan cemas yang dialami anak yang dapat menyebabkan kesulitan bagi anak untuk memahami rasa cemas yang dialaminya. Ketika tidak ditangani dengan baik, rasa cemas tersebut bisa menyebabkam anak mengalami gangguan mental saat beranjak dewasa.
Tuntutan yang diberikan orang tua kepada anak dapat menghambat tingkah laku sosial dan masalah pendidikan maupun keseharian anak. Apabila tuntutan akibat push parenting semakin tinggi, anak akan menjadi lebih mudah merasa tertekan dan perasaan tertekan yang anak rasakan dapat membuat anak lebih mudah murah, membangkang, dan sulit untuk diatur yang dapat membuat anak menjadi pemberontak. Push parenting juga membuat terganggunya aspek perkembangan sosial-emosionalnya, dan terlebih lagi anak merasa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan jiwa kemandirian serta kemampuannya dalam menyelesaikan masalah.
Tugas orang tua adalah mendidik, mendampingi, dan menuntun bukan untuk menentukan nasib anak – anaknya. Setiap anak memiliki hak untuk memilih jalannya masing – masing ingin menjadi apa dikemudian hari. Setiap anak memiliki lebih dan kurangnya masing – masing, pun memiliki minat dan bakatnya masing – masing. Sebagai orang tua yang baik, seharusnya tidak menuntut anak untuk menjadi apa yang orang tua inginkan, namun memberikan dukungan dan biarkan anak memilih apa yang dia inginkan.
Kesehatan mental anak bukanlah hal yang dapat disepelekan. Menjaga kesehatan mental anak sedini mungkin merupakan hal yang sangat penting karena dengan kesehatan mental yang baik akan berpengaruh terhadap kondisi fisik juga kualitas hidup dari sang anak kelak. Tentunya, pola asuh dan peran orang tua sangat penting dalam menciptakan kesehatan mental yang baik bagi anak. Pola asuh yang buruk akan berdampak buruk pada kesehatan mental dan kualitas hidup anak. Begitupun sebaliknya, jika orang tua menerapakan pola asuh yang baik, anak akan merasa aman dan nyaman sehingga tercipta kesehatan mental yang baik pula.
Kesehatan mental yang tidak dijaga sejak dini akan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak. Trauma masa lalu akan membuat anak sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu emosi anak menjadi labil, mudah marah, jengkel, dan sedih. Dampak lainnya adalah anak akan mudah untuk melukai dirinya sendiri, membanting barang, berteriak, bahkan dapat membuat anak berpikiran untuk bunuh diri.
Meskipun dengan alasan “demi kebaikan anak” namun belum tentu yang orang tua lakukan membuat kehidupan anak menjadi lebih baik. Push parenting bukanlah jalan yang tepat untuk membangun kehidupan anak menjadi kehidupan yang sejahtera, sebaliknya akan membawa malapetaka bagi anak itu sendiri. Cobalah untuk berbicara dari hati ke hati kepada anak, dengarkan apa yang dia inginkan dan pahami apa yang menjadi keresahannya selama ini, sebab jangan sampai kesehatan mental anak terancam hanya karena mementingkan ambisi kedua orang tuanya.
Kesehatan mental anak lebih penting daripada ambisi dan keegoisan orang tua. Anak akan jauh lebih bahagia dan merasa nyaman ketika orang tua mendukung dan memahami minat dan keinginan anak, bukan memaksakan kehendak sehingga membuat anak merasa tertekan. Stop untuk memaksakan kehendak dan stop membuat anak merasa tertekan demi mental dan kualitas hidup yang lebih baik bagi anak. Tidak ada yang salah jika orang tua menginkan yang terbaik bagi anaknya, yang salah adalah ketika orang tua memaksakan keinginannya tanpa menghiraukan perasaan anak.