SULBARONLINE.COM, Mamuju — Anggota DPRD Sulbar inisial S mengaku kaget saat dirinya ditetapan sebagai tesangka atas dugaan korupsi oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Mamuju.
S mengaku memang pernah sekali memenuhi panggilan jaksa penyidik Kejari Mamuju untuk dimintai keterangan terkait masalah yang membuat ia jadi tersangka saat ini.
“Penyidik bertanya apakah ini pokok pikiran (baca-pokir) atau aspirasi dan atau usulan dari hasil reses, saya sampaikan dengan tegas, bukan. Itulah sebabnya saya kaget, syok saat Kejari melakukan rilis, karena masalah yang saya anggap tidak akan menyeret-nyeret saya, justru saya yang dijadikan tersangka,” kata S kepada wartawan menjawab pemberitaan sejak ditetapkan tersangka oleh Kejari Mamuju, Senin (1/11/2022).
S mengakui, pada tahun 2019, secara umum ada pokir. Itu dibuktikan dengan SK Nomor 4 Tahun 2018 yang terbit pada 28 Februari ditandatangani oleh pimpinan DPRD Sulbar.
“SK itu ada di Bappeda. Usulan per fraksi, untuk program ini tidak ada di dalam (usulan pokir), karena memang program ini bukan berangkat dari pokok pikiran, bahwa pokir itu ada sebagai usulan, iya itu ada. Tapi bukan kegiatan ini,” bebernya.
Dia juga membeberkan, bahwa kegiatan serupa dilaksanakan di seluruh Sulawesi Barat, bukan hanya di Kabupaten Mamuju.
“Makanya jadi pertanyaan saya secara pribadi, kok di Mamuju saja yang diproses, mengapa di tempat lain tidak, tidak diaudit secara keseluruhan padahal program sama, satu nomenklatur,” ujarnya.
Ia menjelaskan, saat memenuhi panggilan penyidik dia ditanya terkait rapat koordinasi Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sulbar, sebab memang saat itu dia sebagai salah satu anggota Banggar sekaligus sebagai anggota komisi I pada saat itu (2018).
“Saya katakan bahwa karena kondisi di Mamuju ini sering banjir dan longsor, dalam rapat itu memang saya pernah berpendapat, tolong dong dilakukan itu reboisasi, tapi pendapat itu saya sampaikan setelah melihat ada nomenklatur program kegiatan ini dari dinas yang memang untuk RHL itu,” katanya.
Sehingga, lanjut dia, jika pada rapat koordinasi Banggar-Komisi itu yang dianggap penyidik jaksa terjadi permupakaran jahat antara S dan F, maka S menegaskan rapat tersebut bukan tempat pengambilan keputusan.
“Lah kalau pada rapat itu dianggap ada permupakatan jahat menurut saya itu aneh, karena hanya saya yang dijadikan tersangka, memangnya saya sendiri anggota DPRD dalam rapat itu, kan tidak. Ada anggota DPRD lain kok dan itu rapat resmi. Kalau urusan bahwa saya berpendapat secara pribadi pada rapat itu, bahwa memang harus ada reboisasi dengan melihat kondisi Mamuju, masa percakapan di rapat koordinasi Banggar-Komisi itu dijadikan dasar mempidanakan saya,” jelasnya.
S menjelaskan, soal adanya berupa coretan dari Dinas Kehutanan yang baru diperlihatkan padanya, dia menegaskan itu adalah coretan sepihak.
“Karena memang saya curiga boleh jadi ada alat lain dijadikan jaksa mentersangkakan saya. Saya tegaskan itu adalah sepihak, ada kode-kode nama di dalamnya, dan bukan cuma nama saya, ada anggota DPRD lain. Di coretan itu intinya anggota DPRD tertentu sekian, nah kalau itu dijadikan penyidik sebagai alat bukti, tentu harus diuji di pengadilan, karena yang jelas kami tidak pernah mengenali pokir seperti itu dan TAPD yang hadir rapat juga menyaksikan tidak ada coretan semacam itu dalam rapat. Pokir itu resmi masuknya, ada SK dan lampiran usulan kegiatan,” paparnya.
“Jadi kalau itu dijadikan dasar, tentu ini tidak fair, mengapa hanya saya jadi tersangka, sementara ada nama lain. Loh kok tidak diproses semua, maksudnya ini apa?,” sambung S menanyakan objektivitas jaksa penyidik.
Terkait kerugian negara yang dirilis Kejari Mamuju Rp 1.1 Miliar yang menjadi dasar menetapkan dua tersangka, S menjelaskan kerugian negara yang dimaksud karena bibit yang ditanam di luar peta lahan kritis.
“Bahwa dinas punya dasar membantah, itu hal lain. Tapi yang saya mau jelaskan adalah, soal kewenangan menetapkan di mana bibit itu layak ditanam. Itu kewenangan dinas selaku eksekutif, yang mengerti itu dinas, kenapa saya harus ikut bertanggungjawab terhadap itu, jadi ada total los, semua bibit yang ditanam di luar peta lahan kritis dinilai nol, termasuk bibit yang disyaratkan bersertifikat itu total los, itulah kerugian negara yang dimaksud jaksa Rp 1.1 miliar,” bebernya.
Karena itu, dia menggaris bawahi, dalam kasus tersebut dia dan tersangka F (eks kadis kehutanan) tidak dituduh mengambil uang negara.
“Jadi akibat itu. Bibit ditanam di luar peta lahan kritis dan ada bibit tidak sertifikasi. Pertanyaannya, apa hubungan saya di sana? kalau jaksa bilang akibat dari rapat koordinasi Banggar-Komisi, memangnya saya punya kekuatan memaksa mereka (dinas kehutanan) melaksanakan program dan mengabaikan syarat peta lahan kritis dan sertifikasi bibit itu, kan tidak. Dinas itu berdiri sendiri. Yang saya dengar, Pak kadis juga sudah ditanya apakah punya kewenangan menolak usulan itu, jawabannya mereka bisa menolak, buktinya ada kelompok ditolak karena tidak sesuai regulasi,” jelasnya lagi.
Karena itulah, S mengaku masih merasa kabur dengan konstruksi kasus yang menjerat dirinya sebagai tersangka.
“Jadi sampai sekarang saya tidak mengerti di mana posisi atau peran saya dari pasal disangkakan penyidik. Tapi, bukan berarti saya menyalahkan proses hukum sedang berlangsung, hanya merasa aneh, kok seperti ini penegak hukum kita,” tutur S.
Terakhir, ia mengingatkan soal empat pimpinan DPRD Sulbar ditersangkakan oleh jaksa dan ditahan sembilan bulan berkaitan dengan pokok-pokok pikiran anggota DPRD.
“Pada akhirnya mereka bebas demi hukum. Saya tidak tahu apakah nasib saya akan semacam itu, dan juga tidak tahu bagaimana pertanggung jawaban moral pihak kejaksaan jika akan demikian, saya hanya minta hukum ditegakkan dengan adil, jangan karena tendensi, jangan ada karena pretensi,” tutup S.