Oleh : Abhy Muhammad (Lontara Institute)
Pengibaran Sang Saka Merah Putih menandakan proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan akan dikibarkan lagi dengan gagah dalam upacara pengibaran yang sakral. Tentu peringatan 17 Agustus ini menjadi hari yang paling bersejarah bagi perjalanan bangsa Indonesia, sekaligus menjadi penyeru ingatan kolektif bagi anak negeri dalam mengenang jasa para pahlawan.
Penting untuk dicatat bahwa tahun 1945 menjadi momentum krusial dalam berdirinya bangsa Indonesia. Sebuah nama yang disepakati oleh para founding fathers menjadi awal lahirnya komitmen bersama untuk memajukan dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, apakah “merdeka” atau kemerdekaan sudah sepenuhnya dicapai oleh bangsa ini? Secara de jure mungkin iya, namun secara de facto, realitas hari ini menunjukkan kemerdekaan belum kita raih seutuhnya. Kendati pengibaran bendera Merah Putih terus dilaksanakan hingga menjelang usia 80 tahun bangsa ini, Indonesia belum juga “merdeka”.
Kata “merdeka” sendiri sebenarnya terambil dari bahasa Sanskerta, yakni “mahardhika”, sebuah kata sakral yang disematkan pada Bhikku Buddha yang artinya bijak, terdidik, dan terang cahaya bening. Jadi, kemerdekaan sejatinya tidak saja dipahami sebagai terbebasnya dari belenggu penjajahan kolonialisme maupun menepis jeratan ideologi imperialisme, tetapi juga harus mampu dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dengan cara terdidik dan terpelajar. Yang paling penting adalah kemerdekaan yang dimaknai secara berkeadilan, di mana masyarakat dapat hidup aman dan sejahtera, mengakses pelayanan publik dengan mudah, mendapatkan pendidikan yang baik, fasilitas kesehatan yang layak, serta perlakuan yang setara di mata hukum.
Kita tidak boleh lagi melihat tangisan anak yang viral karena harus berhenti sekolah sebab orang tuanya tidak mampu membiayai, tidak ada lagi bidan yang harus berjuang menyeberangi sungai untuk menyelamatkan nyawa pasiennya, tidak ada lagi mayat yang ditandu dengan kain karena minimnya fasilitas kesehatan, serta pasien yang harus menempuh perjalanan berhari-hari dari pelosok desa karena jauhnya akses menuju rumah sakit.
Dari semua ini, benarkah Indonesia telah “merdeka”? Yang terlihat, negara hanya merayakan kemerdekaan “semu” namun tak mampu menyentuh bagian terdalam arti kemerdekaan sesungguhnya.
Karena kemerdekaan akan selalu bersentuhan dengan kemanusiaan, “kemerdekaan ialah hak bagi seluruh bangsa, dan oleh karena itu, penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Olehnya itu, kemerdekaan tidak hanya berbicara tentang kebebasan yang tampak di permukaan, tetapi harus diraih segenap jiwa, ditafsirkan, dan diwujudkan oleh pemerintah sebagai perangkat negara untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan.
Sebab, kata Aflaton (Plato), “keadilan adalah nafas bagi negara. Selama keadilan masih berhembus dengan murni, maka negara akan tetap hidup, kuat, dan dihormati.”
Ucapan ini beresonansi kuat dengan apa yang dikatakan Aristoteles dalam The Republic-nya, bahwa keadilan adalah benteng yang tidak akan mampu ditembus oleh senjata.
Perwujudan kemerdekaan secara hakiki hanya bisa dirasakan masyarakat ketika negara hadir dalam nadi kehidupan rakyatnya, dengan mewujudkan “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.” Indonesia hanya akan sampai pada cita-citanya sebagai bangsa sejak ia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Jika tidak, maka tugas kita sebagai sesama anak bangsa adalah melanjutkan semangat perjuangan Bung Hatta yang mengatakan bahwa “revolusi belum selesai,” untuk kemudian merancang dan membangun kembali makna “kemerdekaan” dalam bentuk yang utuh.
Merdeka
11 Agustus 2025