Oleh : Adhi Riadi (Penulis, Pemerhati Budaya)
SULBARONLINE.COM, Sumare — Suara tabaq-tabaq (Gong) menggema dari tepi pantai, menandai puncak keramaian di Desa Sumare siang itu. Di bawah langit sepanjang pesisir Taliselambang, warga duduk melingkar di atas tikar panjang. Di hadapan mereka, beragam makanan tradisional tersaji ; buras, ketupat, onde-onde bertabur parutan kelapa, pare puluq yang bahan utamanya adalah santan dan beras ketan menjadi kuliner wajib serta ikan hasil nelayan yang aromanya bercampur dengan angin laut.
Sejak pagi, rumah milik Punggawa telah menjadi pusat adat. Di sanalah prosesi Tudaq Bala dimulai, sebuah tradisi tolak bala yang hanya dilakukan sekali dalam setahun, tepat di bulan Safar, sebelum Maulid tiba. Para pemangku adat, tokoh agama, dan warga duduk bersisian, memanjatkan doa bersama agar kampung ini dijauhkan dari musibah.
Setelah itu, prosesi berlanjut dengan Mopakuli, doa khusus agar seluruh warga terhindar dari penyakit. Kemudian, rombongan bergerak menuju pantai. Ombak kecil menampar bibir pantai menjadi musik latar alami bagi doa kedua yang dipanjatkan di tepi laut. Usai doa, makanan yang dibawa dari rumah dibagikan dan disantap bersama.
Lalu, suara gong kembali memecah udara. Pertunjukan Mancaq Paqdang dimulai. Para pesilat beraksi di pasir pantai, gerakan mereka cepat namun terukur, memadukan kekuatan dan kehormatan. Tepuk tangan penonton pecah setiap kali jurus pamungkas dipertontonkan.
Sementara sebagian warga larut dalam riuh pertunjukan, para pemangku adat kembali ke rumah Punggawa untuk prosesi terakhir: Mansossor Manurung, pencucian keris pusaka yang diyakini sebagai warisan leluhur. Air perasan jeruk membasuh bilah keris, seakan menyambungkan kembali garis tak terlihat antara masa kini dan masa lalu, antara warga yang hidup dan para Peneneang (leluhur) yang telah mendahului.
*Wawancara dengan Punggawa (Ketua Adat Desa Sumare) Abd Latif*
Usai seluruh prosesi adat berakhir, saya duduk bersama Abd Latif, Punggawa Desa Sumare bersama dengan perangkat adat lainnya. Dengan nada tenang, ia mulai bercerita.
“Bulan Safar bagi kami bukan sekadar waktu di kalender,” ujarnya sambil menatap langit yang mulai gelap. “Ini adalah momen untuk menguatkan benteng doa dan kebersamaan.”
Ia menjelaskan bahwa Tuda Bala dan Mopakuli telah dilakukan sejak zaman leluhur. “Di rumah Punggawa, kami memulai doa bersama. Setelah itu ke pantai, melanjutkan doa dan makan bersama. Tujuannya bukan hanya memohon perlindungan Tuhan, tapi juga mempererat ikatan di antara warga.”
Tentang Mansossor Manurung, ia berkata, “Keris Manurung adalah warisan penting. Selama pusaka itu dibersihkan dan dirawat, selama itu pula hubungan kami dengan leluhur terjaga. Ini bukan benda biasa, tapi pengikat sejarah.”
Sebelum perbincangan usai, Abd Latif memaparkan struktur adat Desa Sumare:
Punggawa: Ketua adat dan penanggung jawab utama sistem adat.
Tokayyang: Dua pendamping Punggawa.
Pa’biccara: Penyelesai masalah di kampung.
Tomatorona Adaq: Penentu jalan penyelesaian persoalan besar melalui musyawarah.
Soqboq: Pengurus urusan pertanian.
Topangngurus Adaq: Penghubung masyarakat.
“Semua peran itu satu tubuh,” tutupnya. “Kalau satu hilang, adat kami akan pincang.”
Di Desa Sumare, bulan Safar bukan hanya rangkaian ritual. Ia adalah cara masyarakat menjaga diri, menjaga persaudaraan, dan menjaga jembatan menuju leluhur. Dan selama suara gong, doa, dan tawa masih terdengar di pantai ini, tradisi itu akan terus hidup.
*Mamuju, 10 Agustus 2025*
_Adhi Riadi._