Tragedi Kanjuruhan: PSSI, TGIF, dan Apologi

Oleh: Editor Media Indonesia, Eko Suprihatno

AKHIRNYA sepakbola Indonesia menjadi pembicaraan di tingkat dunia. Prestasi yang dibangun dalam sekejap mata tak pelak membuat mata banyak para pecinta olahraga ini melotot ke Indonesia. Bahkan, dalam laga di sejumlah liga Eropa pun nama Indonesia ikut dibicarakan.

Sayangnya, pembicaraan itu bukan menyangkut prestasi hasil laga di lapangan hijau, melainkan tragedi menyedihkan karena 133 nyawa hilang sia-sia di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu 1 Oktober 2022. Tragedi paling memilukan memang masih terkait kerusuhan yang menewaskan 326 orang pada 1964 di Stadion Nasional Peru, Estadio Nacional, saat laga Peru versus argentina.

Dalam pertandingan Liga 1 antara tuan rumah Arema FC yang menjamu Persebaya Surabaya, dahaga 23 tahun Persebaya dibayar tuntas dengan skor 3-2. Entah bagaimana, seusai pertandingan sejumlah penonton bisa memasuki lapangan hijau. Dalih yang selama ini dimunculkan adalah mereka ingin memberikan semangat kepada para pemain Arema.

Tak pelak kehadiran segelintir suporter di lapangan hijau pun memicu ratusan lainnya untuk berbuat serupa. Akhirnya aparat keamanan pun melakukan tindakan yang menurut kepolisian sudah sesuai prosedur. Puluhan gas air mata ditembakkan ke kerumunan dan membuat mereka kocar kacir. Alhasil, 133 nyawa pun hilang percuma.

Kalau menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Dedi Prasetyo, Senin 10 Oktober 2022, penggunaan gas air mata bukan menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa. Dari penjelasan para ahli, dokter spesialis yang menangani para korban, tidak ada satupun yang menyebutkan penyebab kematian adalah gas air mata. Penyebab kematian karena mereka kekurangan oksigen akibat desak-desakan, kemudian terinjak-injak saat akan keluar di pintu 3, 11, 13 dan 14.

Pernyataan itu memang benar, karena dikatakan sebagai penyebab secara langsung bukanlah gas air mata. Tapi yang patut dicermati, karena dampak dari gas air mata ini yang paling ringan ialah sensasi perih di mata dan sesak di dada.

Kalau gas itu ditembakkan di areal terbuka, seperti di depan gedung DPR Jakarta yang kerap menjadi arena unjuk rasa, barangkali akan cepat menguap karena tempat yang luas. Bayangkan kalau gas itu dilepaskan di dalam stadion yang penuh sesak penonton, apa jadinya? Muncul kepanikan itu sudah pasti dan mereka akan mencoba mencari jalan keluar agar tidak terpapar gas air mata tersebut.

Kondisi berikutnya, karena pintu Stadion yang tidak mampu menahan serbuan ribuan penonton, sudah pasti akan timbul desak-desakan. Siapa yang kuat dia menang dan selamat, sebaliknya siapa lemah, dia terinjak dan akhirnya kehilangan nyawa.

Bukan cuma polisi yang seperti buru-buru tak ingin dituding sebagai penyebab kematian ratusan penonton tersebut. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, PSSI, pun tak ingin dikatakan sebagai pihak yang bertanggung Jawab. Mereka beralasan panitia penyelenggaralah yang harus memikul tanggung Jawab itu.

Selesai? belum. Karena panitia penyelenggara menuding PSSI juga harus ikut menanggung beban tanggung Jawab karena lembaga ini adalah satu-satunya organisasi sepakbola di Indonesia. Begitu juga dengan operator kompetisi, PT Liga Indonesia Baru (LIB), yang menyerang pihak televisi karena meminta laga dimainkan pada malam hari. Nah, pihak lembaga penyiaran pun ogah dituding sepihak. Mereka menyebutkan soal jadwal itu sudah ditetapkan PT LIB sehingga mereka tinggal mengikutinya saja.

Bayangkan, kalau sudah begitu, siapa yang harus diseret untuk mempertanggungjawabkan ratusan nyawa yang hilang sia-sia di Kanjuruhan. Kasihan mereka yang jadi korban karena keteledoran sesama.

Tragedi Kanjuruhan sudah pasti mencoreng wajah Indonesia di kancah internasional, padahal kita tengaj berusaha keras mendongkrak prestasi sepak bola nasional ke tingkat dunia. Tragedi ini membuat persepakbolaan nasional jatuh ke titik nadir.

Tragedi mematikan sekaligus memalukan ini menunjukkan buruknya pengelolaan persepakbolaan nasional, terutama manajemen pertandingan. Mereka seperti cuma menjual fanatisme demi cuan. Bukan hal baru fanatisme berlebihan diperlihatkan para penonton terhadap tim kesayangan. Dalam kamus mereka sepertinya tak boleh ada kekalahan dalam laga.

Padahal, pada Jumat 17 Juni 2022, sudah dipertontonkan secara telanjang ketika pendukung tim Persib Bandung kehilangan nyawa saat berdesakan memasuki Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Ketika itu Persib akan menghadapi Persebaya di Piala Presiden 2022.

Dari tragedi Kanjuruhan terungkap fakta-fakta pengabaian akuntabilitas pertandingan, seperti jumlah penonton yang melebihi kapasitas, waktu pertandingan yang tidak sesuai arahan pihak kepolisian, penggunaan gas air mata yang tidak sesuai standar keamanan FIFA, dan kekerasan aparat, baik oleh polisi maupun TNI.

Polisi memang bertindak cepat, yaitu dengan mencopot semua komandan yang terlibat dalam peristiwa tersebut. TNI pun sudah melakukan penindakan terhadap prajurit yang terbukti melakukan kekerasan terhadap penonton. PSSI pun, tumben, langsung bersikap dengan menjatuhkan sanksi kepada Arema dan ketua panpel.

Pemerintah, dalam hal ini Kemenkopolhukam, juga cepat tanggap dengan membentuk tim gabungan independen pencari fakta, yang hasil penyelidikan mereka akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo, Jumat 14 Oktober 2022. Belum lagi sejumlah lembaga seperti Komnas HAM.

Iwan Bule Bergeming

Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan pun seperti bergeming dengan desakan mundur puluhan ribu warga. Menurut pria yang kerap disapa Iwan Bule itu, hak setiap orang untuk berbicara apa saja, dia tak akan mundur dari posisi. Bahkan suara PSSI yang lain juga tak kalah hebatnya, Komite Wasit PSSI Ahmad Riyadh bahkan terang-terangan membela bosnya dengan menyebutkan bentuk tanggung Jawab tidak harus mundur tapi dengan membuktikan mengubah PSSI menjadi lebih baik. Kritik diperbolehkan, tapi kongres PSSI yang berhak menentukan kepengurusan. Begitu kata Ahmad di Jakarta, Selasa 11 Oktober 2022.

Padahal komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menilai, PSSI sebagai lembaga sepakbola tertinggi di Indonesia punya tanggung jawab penuh atas terjadinya tragedi kemanusiaan itu.Yang tragis adalah pernyataan anggota Eksekutif Komite PSSI Sonhadji seusai menemui Komnas HAM, Kamis (13/10).

Menurut dia, PSSI sudah melakukan pencegahan dan semua sudah bekerja sesuai standar operasional prosedur (SOP). Sehingga, bagi dia, tragedi Stadion Kanjuruhan merupakan kehendak tuhan karena sudah tidak bisa dicegah.Sungguh luar biasa upaya apologi para pihak yang jelas-jelas terkait tragedi Kanjuruhan.

Mulai dari perilaku supporter hingga tuhan yang dijadikan sebagai pihak bertanggung jawab. Padahal, justru suporterlah yang memberikan pemasukan kepada klub sepak bola, pengelola liga seperti PT LIB, dan regulator PSSI. Merekalah yang punya tanggung jawab paling besar karena hidup dari sepakbola.