Oleh : Suryananda, S.Ip (Ketua Panitia Pilkades Desa Batulaya)
OPINI — Pengguna E-KTP dilarang Dalam Pilkades, Apakah Bentuk Penghilangan Hak Pilih ?
Catatan ini merupakan hasil refleksi jelang Pilkades serentak yang akan dihelat di Polewali Mandar tahun ini. Sedini mungkin tulisan ini sebagai counter jika kelak ada oknum yang beranggapan bahwa panitia pilkades di desa tidak melindungi hak pilih masyarakat. Padahal, sejatinya apa yang dijalankan panitia di desa tersebut berdasarkan UU yang kemudian dipertegas lewat surat panitia kabupaten.
Selain itu, goresan ini adalah wujud penegasan bahwa sebagai panitia di tingkat desa sekalgus berposisi sebagai rakyat, betapa sungguh sangat menginginkan sinergitas semua pihak agar terlaksananya pilkades serentak Polewali Mandar bisa berjalan dengan damai.
Pilkades serentak Polewali Mandar yang akan digelar pada Kamis, 18 November 2021 di 67 desa telah memasuki pekan terakhir menuju hari pencoblosan.
Namun mendadak keriuhan terjadi dikalangan masyarakat atau panitia di tingkat Desa itu sendiri. Sebab ternyata warga pemegang Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau KTP elektronik tak bisa mencoblos. Untuk menunaikan hak pilihnya, karena mereka mesti masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkades.
Sebagaimana surat perintah panitia Pilkades Kabupaten Polewali Mandar nomor : 056/PAN Pilkades Kab/10/2021. Keputusan ini pun menuai protes warga, pendukung, maupun tim sukses calon kepala desa yang merasa dirugikan dengan aturan ini, bahkan menjadi polemik dikalangan panitia desa sebab sangat rentan berpotensi konflik antara masyakat dan panitia.
Keharusan terdaftar dalam DPT bagi calon pemilih ini pun dianggap sangat berpotensi menghilangkan hak suara warga yang sejatinya berhak memilih. Bukan mustahil terjadi di beberapa desa dari 67 Desa yang akan menggelar pilkades serentak Polewali Mandar.
Disisi lain, panitia desa hanyalah seorang manusia biasa yang bisa luput dari upaya penyempurnaan data warga yang berjumlah ribuan, dimana panitia harus bekerja ekstra ditengah anggaran yang sangat minim.
Surat yang dikeluarkan Oleh Pankab ini berlawanan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102/PUU-VII/2009. Dalam putusan ini, MK telah memerintahkan KPU membuat aturan teknis penggunaan hak pilih yang tidak terdaftar dalam DPT dengan ketentuan bisa dengan menunjukkan KTP, paspor, KK atau sejenisnya yang masih berlaku.
Putusan MK ini lantas menjadi rujukan untuk pemilu lainnya dan praktis membuat pemilik KPT elektronik bisa memilih asal menunaikan hak pilihnya di daerah asal atau domisili yang tercantum dalam e-KTP dan secara ketentuan sudah memenuhi persyaratan memilih.
Surat pankab tersebut berlawanan dengan putusan MK dan berpotensi mengebiri hak warga negara dalam berdemokrasi. Seorang warga berpotensi kehilangan hak suaranya, meski sejatinya berhak memilih, sehingga Jangan sampai tata cara tersebut mengalahkan hak dasar warga negara.
Sejauh ini, aturan bahwa seorang warga harus tercantum dalam DPT untuk bisa menunaikan hak pilihnya, mengapa harus terjadi di Polman. Padahal, jelas informasi pilkades di Batam Kepulauan Riau, seorang pemilik KTP elektronik tetap bisa memilih meski acuannya tetap sama, Permendagri Nomor 112 Tahun 2014. Acuan putusan MK ini juga digunakan di Bantul, DIY. Di kabupaten ini, seorang pemilik KTP elektronik tetap bisa mencoblos meski tak terdaftar dalam DPT Pilkades.
Jika alasannya bahwa pilkades sifatnya lex spesialis atau diperlakukan khusus. Karena, Pilkada atau Pilpres menggunakan undang-undang pemilu dan aturan KPU. Sedangkan, pelaksanaan Pilkades mengacu kepada Perda. Bukankah itu bertentangan dengan putusan MK yang berakibat menghilangkan hak suara, bagi orang yang berpotensi atau memiliki hak suara.
Bukankah Lex specialis merupakan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)
Dalam beberapa kasus, penerapan hukum ini berlaku di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Provinsi DKI Jakarta, wali kota dan bupati ditunjuk oleh gubernur sesuai dengan UU Administrasi DKI Jakarta. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hukum syariat dan para calon kepala daerah diwajibkan tes baca dan tulis Al Quran.
Di Provinsi Papua, gubernur dan wakilnya adalah orang asli Papua serta terbentuknya Majelis Rakyat Papua yang beranggotakan orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan.
Pasal yang sama juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.
Pertanyaannya, UU apa yang membuat aturan umum mengenai hak pilih harus dikesampingkan di Pilkades serentak Polman ? Apakah perda atau perbup polman, jika iya, mengapa harus berpotensi mengkebiri dan menghilangkan hak suara Rakyat yang bisa berakibat polemik di Masyarakat.
Olehnya itu Pihak PMD Polman, Kepala dinas terkait atau panitia yang bertanggung jawab harus memikirkan kondisi tersebut jika tidak ingin dianggap gagal dalam menghelat pilkades serentak tahun ini, jika benar hal itu akan dibiarkan. PMD Polman sedini mungkin harus mencegah kesan membenturkan rakyat di arus bawah.