Oleh : Septika Dwi Haryati (Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Polewali Mandar)
SULBARONLINE.COM, Opini — Para ekonom mempercayai bahwa Inflasi hanyalah sesuatu yang terjadi di masa lampau bahkan bagi beberapa negara yang ekonominya telah maju. Adalah sesuatu hal yang lumrah untuk mengatakan bahwa inflasi mereka hanyalah formalitas semata dan tidak berarti apa-apa.
Tidak terkecuali bagi negara berkembang seperti Indonesia yang inflasinya pun tidak membuat para ekonomnya risau. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi bulan November year-on-year cuma mencapai 1,59 persen. Namun setelah pandemi mengguncang dunia selama lebih dari setahun hingga saat ini, banyak ekonom yang mulai mengkhawatirkan peningkatan laju inflasi.
Ada banyak faktor yang dapat memicu lonjakan inflasi di Indonesia di masa pandemi di tahun kedua ini. Faktor pertama tentu saja karena kenaikan laju inflasi memang telah diperkirakan terjadi di tahun kedua sejak pandemi menyerang. Hal ini disebabkan karena setelah berjibaku dengan pandemi selama dua tahun, perekonomian akan berangsur-angsur pulih, sehingga akan berdampak pada peningkatan penghasilan masyarakat, peningkatan permintaan barang dan jasa sedangkan level produksi biasanya tidak dapat mengikuti peningkatan level permintaan yang begitu cepat. Terbatasnya suplai barang dan jasa yang tidak dapat mengikuti tingkat permintaannya tentu saja akan membuat harga barang dan jasa akan meroket naik.
Faktor yang kedua lebih dipengaruhi oleh kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Selama pandemi berlangsung, banyak negara di dunia memberikan kemudahan ekonomi bagi para warganya melalui serangkaian kebijakan fiskal dan moneter, tidak terkecuali Indonesia.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 dengan total anggaran Rp 695,2 triliun adalah salah satu program utama pemerintah dalam rangka menyelamatkan ekonomi bangsa. Besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk program PEN membuat pemerintah Indonesia lagi-lagi harus menambah utang luar negerinya.
Rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pun ikut melonjak. Jika pada tahun 2018 rasio utang terhadap PDB berada di posisi 29 persen, maka sejak pandemi berlaku rasio tersebut telah naik menjadi 30 persen, bahkan diperkirakan rasio utang tersebut akan mencapai 39,1 persen di tahun 2022 jika pandemi tidak segera berlalu. Terlebih lagi ditambah dengan fakta bahwa baru-baru ini bank dunia baru saja menyetujui permintaan utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 13 Triliun.
Faktor ketiga yang juga dapat mendongkrak inflasi adalah fenomena aging population atau dapat disebut dengan populasi yang menua. Ketika populasi suatu negara didominasi oleh para penduduk yang berusia tua, akan berdampak pada rendahnya suplai pekerja produktif sehingga akan menurunkan produktivitas suatu negara secara agregat. Lagi-lagi jika produksi barang dan jasa tidak dapat memenuhi permintaannya, maka akan berujung pada inflasi yang tidak dapat terelakkan.
Untungnya Indonesia saat ini berada dalam kondisi surplus penduduk berusia muda. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020 yang dilaksanakan oleh BPS, demografi penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk generasi Z dan generasi Milenial.
BPS menyebut generasi Z ini adalah mereka yang lahir pada tahun 1997-2012. Sementara generasi Milenial adalah mereka yang lahir pada tahun 1981-1996. Populasi dua generasi tersebut kalau ditotal mencapai 53,81% total penduduk Indonesia. Sehingga bagi Indonesia, faktor ketiga ini tidak menjadi ancaman bagi lonjakan inflasi Indonesia.
Indonesia hanya perlu berfokus pada faktor pertama dan kedua tadi. Kabar baiknya, efek dari faktor pertama dan kedua biasanya hanya berlangsung beberapa saat. Hal ini disebabkan setelah terjadi lonjakan permintaan barang dan jasa yang begitu drastis, level produksi secara berangsur-angsur akan sanggup memenuhi permintaannya. Terlebih lagi ketika ekonomi sudah mulai pulih, bank sentral Indonesia juga dapat mengurangi ekspansi fiskal dan moneternya sehingga dapat menurunkan beban utang negara.
Meskipun demikian, ancaman lonjakan Inflasi ini tidak dapat serta merta kita pandang sebelah mata. Dengan melonjaknya utang negara selama pandemi berlangsung, kenaikan laju inflasi sedikit saja sudah dapat memberikan dampak yang begitu signifikan bagi kesehatan fiskal negara dan semakin menghambat Indonesia keluar dari jurang resesi bahkan bisa tenggelam ke dalam lembah depresi. Selain itu inflasi juga akan menurukan daya beli masyarakat yang pada akhirnya semakin memperparah ekonomi.
Pemerintah dan bank sentral harus tetap mewaspadai ancaman inflasi ini. Diperlukan kebijakan yang bersifat segera dan tepat sasaran demi menekan kemungkinan adanya lonjakan inflasi. Dari sisi bank sentral, hal ini dapat dicapai dengan pengetatan moneter dan pengendalian laju inflasi. Sementara itu dari sisi pemerintah perlu menjaga suplai barang dan jasa jika sewaktu-waktu terdapat lonjakan atas permintaan.