Memaknai Perjuangan Pahlawan Lewat Permainan Tradisional

Penulis: Dewi Ayu Larasati, SS, M, M. Hum (Staf Pengajar Universitas Sumatra Utara) 

PERMAINAN tradisional memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Permainan tradisional sebagai salah satu khasanah budaya bangsa memiliki beragam fungsi. Nilai-nilai luhur dalam permainan tradisional telah terbukti mengandung nilai-nilai yang adiluhung. Permainan tradisional dapat menciptakan suatu kebersamaan maupun tenggang rasa dan semangat saling membantu. Permainan ini juga memiliki fungsi sebagai media belajar yang komunikatif karena membantu pengembangan anak seperti, pengembangan mental, sosial, kreativitas, moral dan edukasi intelektual.

Pada perjalanannya, permainan tradisional sebagian sudah jarang dimainkan. Bahkan, ada permainan tradisional yang benar-benar sudah tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang.

Kemajuan teknologi komunikasi membawa implikasi pada pilihan permainan untuk anak-anak. Saat ini anak-anak lebih memilih bermain seperti game online melalui smartphone atau alat lain. Permainan modern ini cenderung sangat tidak mendidik, terkesan individual, materialistis, ingin menang sendiri, dan masih banyak efek negatif lainnya. Permainan ini tentu sangat jauh berbeda dengan permainan tradisional yang lebih mendidik anak-anak untuk saling berinteraksi satu sama lain. Ironis memang, permainan modern yang sebagian besar berasal bukan dari negara sendiri, justru semakin digemari. Padahal, permainan tradisional dapat menjadi identitas warisan budaya ditengah keterpurukan kondisi bangsa saat ini.

Setiap perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus, permainan tradisional kerap diperkenalkan kepada masyarakat. Lomba-lomba tradisional ini merupakan salah satu khas dan selalu dinanti kehadirannya saat perayaan 17 Agustus.  Digelarnya permainan tradisional ini merupakan ide cemerlang sebagai upaya untuk mengangkat kembali seni dan budaya bangsa Indonesia serta mengingatkan kepada generasi sekarang agar tidak lupa dengan permainan tradisional. Khususnya bagi para kaum milenial, mereka dapat bernostalgia sejenak mengingat indahnya kenangan masa kecil di tahun 1990-2000an silam.

Di balik keseruannya, permainan tradisional ini juga memiliki filosofi dan erat kaitannya dengan sejarah Bangsa Indonesia di zaman penjajahan, yang secara umum merujuk pada perjuangan meraih kemerdekaan dan persatuan kesatuan bangsa.

Berikut adalah ragam permainan tradisional yang memiliki filosofi semangat perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Balap Karung

Sejarah permainan Balap Karung tak lepas dari zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Seperti diketahui, saat zaman penjajahan Belanda, banyak yang diwariskan oleh para penjajah kepada bangsa Indonesia.

Salah satu ‘warisan’ tersebut adalah lomba balap karung. Pada zaman penjajahan di sekolah-sekolah yang didirikan misionaris Belanda, diadakan lomba balap karung pada perayaan hari ulang tahun kerajaan Belanda. Setelah itu, lomba balap karung menjadi popular hingga ke kampung-kampung.

Terlebih lagi, karung bisa didapatkan dengan mudah di Indonesia. Saat Belanda sudah pergi dari Indonesia, tradisi lomba balap karung tersebut tetap berlanjut. Bedanya, lomba balap karung digelar saat HUT Republik Indonesia, bukan HUT negeri Belanda.

Lomba ini cukup sederhana, dimana peserta diwajibkan memasukkan bagian bawah badannya ke dalam karung lalu mereka harus melompat-lompat untuk mencapai garis finish.

Makna filosofi yang terkandung dalam lomba balap karung sangat dalam, khususnya untuk mengingat kembali masa-masa kelam saat penjajahan Jepang. Rakyat Indonesia pada masa itu harus menjalani kerja paksa atau Romusha dan terpaksa harus menggunakan karung goni sebagai pakaiannya, karena pemerintah Jepang dengan sengaja menghambat proses distribusi bahan pakaian. Karung yang biasa digunakan untuk membungkus beras dan gula tersebut sangat tidak nyaman dipakai karena penuh kutu, hingga menimbulkan berbagai macam penyakit kulit seperti koreng dan gatal-gatal.

Oleh karena itu, lomba balap karung yang dilakukan dengan menginjak dan melompat-lompat di atas karung menjadi simbol rasa kekesalan masyarakat Indonesia akan masa kelam dahulu dan tidak mau mengalami hal serupa seperti itu lagi.

Selain itu, masih ada makna lain yang terkandung dalam lomba balap karung, yakni pantang menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dalam permainan ini, sebagian tubuh peserta harus masuk ke dalam karung, kemudian berusaha meloncat-loncat untuk bisa sampai di garis finish. Hal ini juga diibaratkan seperti kebebasan rakyat yang terpasung oleh penjajah untuk menggapai kemerdekaan.

Tak jarang, dalam lomba balap karung ini peserta seringkali terjatuh hingga terguling-guling. Makna dari jatuh saat berlari, kemudian bangkit lagi hingga akhirnya sukses mencapai garis finish, merupakan sebuah gambaran akan semangat pantang menyerah masyarakat Indonesia jaman dahulu yang telah berhasil memerdekakan Indonesia.

 

Tarik Tambang

Tarik tambang menjadi salah satu permainan tradisional yang tetap popular hingga kini. Tarik tambang hampir selalu menghiasi perlombaan yang ada saat perayaan HUT RI di seluruh wilayah Tanah Air.

Berbeda dengan makan kerupuk atau memasukkan belut ke dalam botol yang dimainkan secara perorangan, tarik tambang membutuhkan dua tim untuk saling adu kekuatan. Dengan seutas tali tambang, kedua tim dipisahkan sebuah garis dan saling tarik-menarik hingga salah satu tim melewati garis pembatas dan dinyatakan kalah.

Namun di balik itu semua, tersimpan sebuah cerita tentang perjuangan rakyat Indonesia pada masa penjajahan. Meski menurut cerita rakyat tarik tambang berasal dari India, namun olahraga tradisional tarik tambang sudah popular di Indonesia sejak masa penjajahan.

Saat zaman penjajahan banyak orang Indonesia yang terpaksa harus melakukan pekerjaan berat seperti memindahkan batu, pasir, dan lainnya. Saat itu, para pekerja menggunakan tali tambang yang ditarik secara bersama-sama untuk mengangkat batu dan yang lainnya. Karena tidak adanya hiburan bagi para pekerja pada zaman itu, para pekerja pun menjadikan tarik tambang sebagai hiburan dan ajang untuk adu kekuatan.

Lama kelamaan tarik tambang kian popular dan menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah, dan hingga kini dimainkan di berbagai daerah di Indonesia, serta menjadi salah satu olahraga tradisional.

 

Bentengan

Menurut beberapa sumber, bentengan merupakan permainan yang mencerminkan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah.

Bebentengan adalah permainan yang cukup filosofis karena penuh nilai-nilai perjuangan. Lahirnya istilah bebentengan untuk sebutan permainan tradisional ini merupakan analogi dari benteng yang dibangun pada masa perjuangan melawan penjajah.

Bebentengan berasal dari kata ‘benteng’ atau pertahanan. Makna dari permainan ini adalah meningkatkan pemahaman anak-anak tentang strategi pertahanan Indonesia terhadap serangan penjajah Belanda.

Permainan dilakukan berkelompok dengan menandingkan dua kelompok. Setiap kelompok beranggotakan empat sampai lima orang. Tiap kelompok memiliki benda yang dijadikan benteng, bisa berupa pohon, tiang, dan sejenisnya. Pemenang adalah kelompok yang berhasil menyentuh benteng lawan tanpa terkena sentuhan lawan. Jika kita tersentuh, kita akan ditawan di benteng lawan dan tidak akan bisa lepas hingga ada teman yang menyentuh kita.

 

Lomba Makan Kerupuk

Lomba yang satu ini hampir tidak pernah absen setiap perayaan 17 Agustus. Sembari tangan diikat ke belakang, tiap peserta harus adu cepat melahap kerupuk seraya mendongakkan kepala. Di balik riuhnya suara gelak tawa karena ekspresi-ekspresi lucu yang ditampilkan peserta, ternyata lomba ini memiliki filosofi yang cukup dalam.

Lomba makan kerupuk sejatinya menyiratkan keprihatinan akan kondisi bangsa Indonesia di masa penjajahan, di mana kala itu banyak penduduk pribumi yang kelaparan. Simbol keprihatinan rakyat Indonesia pada zaman penjajahan Belanda ditunjukkan dengan memakan kerupuk sebagai simbol sulitnya mendapatkan pangan.

Dengan simbol rasa semangat itu juga para masyarakat menghadirkan kembali dalam perlombaan ini sebagai pengingat mereka akan kondisi yang terjadi di masa penjajahan.

 

Panjat Pinang

Panjat pinang adalah perlombaan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Perlombaan ini dulunya dikenal sebagai de Klimmast, yang memiliki arti ‘memanjat tiang’.

Pada masa itu panjat pinang biasa diadakan setiap 31 Agustus untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina. Tidak hanya itu, masyarakat Belanda juga mengadakan lomba ini saat mereka memiliki acara penting seperti pernikahan, hajatan, dan lain-lain.

Dulu para penjajah memasang batang pohon pinang yang telah dilumuri minyak atau oli di sebuah tanah lapang. Bedanya pada masa itu hadiah yang diperebutkan adalah bahan pokok seperti beras, roti, gula, tepung, dan pakaian. Barang tersebut adalah sebuah kemewahan bagi masyarakat Indonesia yang saat itu hidup serba kekurangan. Sementara masyarakat Indonesia bersusah payah memanjat dan meraih hadiah, orang-orang Belanda hanya menonton dari bawah. Mereka menganggap hal ini sebagai lelucon dan menertawakan ketika ada orang yang terjatuh. Itulah kenapa sebenarnya banyak orang yang menentang lomba panjat pinang diadakan di Indonesia.

Banyak orang menganggap bahwa panjat pinang hanya membawa kenangan buruk di masa penjajahan. Masa-masa di mana kita, bangsa Indonesia ditindas dan ditertawakan oleh bangsa lain. Ada juga yang menilai bahwa panjat pinang sebenarnya mengukuhkan strata sosial yang ada di masyarakat. Namun tidak sedikit yang menilai bahwa panjat pinang diadakan untuk meneladani perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Dengan mengambil makna kekompakan dan kebersamaan, panjat pinang memiliki arti untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Permainan Engrang

Engrang merupakan permainan yang menggunakan galah bambu yang diperlengkapi dengan tangga sebagai tempat berdiri, atau tali pengikat untuk diikatkan ke kaki, untuk tujuan berjalan selama naik di atas ketinggian normal.

Lomba tersebut memiliki makna menghina atau mengejak kolonialisme Belanda yang tubuhnya tinggi (jangkung). Mereka main engrang untuk mengejek orang jangkung. Orang Indonesia pun menggunakan egrang agar terlihat tinggi seperti orang Belanda. Namun permainan ini sudah jarang ditemui saat perlombaan HUT RI.

Makna dari permainan engrang juga menyiratkan bahwa anak-anak harus mampu berdiri di atas tanah airnya sendiri, tanpa harus takut dengan bangsa lain.

Setelah mengetahui makna filosofis yang terkandung dalam ragam permainan tradisional, maka diharapkan setiap kali merayakan kemerdekaan dengan mengikuti berbagai perlombaan, tak hanya sekedar euforia yang kita rasakan, tetapi juga dapat menghayati makna dari semua perlombaan yang didasarkan atas sulitnya perjuangan menggapai kemerdekaan.

Makna yang terkandung dalam permainan tradisional perlu dipupuk dan dikembangkan untuk memperkuat karakter dan jati diri bangsa di tengah arus globalisasi budaya yang tanpa sekat ini.