Oleh : Vanysa G.L Siahaan
(Siswa Sekolah Siaga Kependudukan SMU Negeri 1 Mamuju)
PERNIKAHAN usia anak adalah fenomena di tengah banyaknya permasalahan yang melibatkan kawula muda. Bukan hal yang mengherankan, jika kita melihat teman-teman terdekat jatuh ke dalam praktik pernikahan usia anak. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Sonny Dewi Judiasih, M.H dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Kontroversi Perkawinan Bawah Umur: Realita dan Tantangan bagi Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia” menyebutkan bahwa sebanyak 11,2% anak perempuan di Indonesia telah menikah di bawah usia 18 tahun dan 0,5% dari jumlah tersebut menikah pada usia 15 tahun. Artinya setiap 10 perempuan, ada 1 orang yang menikah di bawah usia 18 tahun. Di bawah batas usia minimal bagi perempuan untuk menikah yakni minimal 19 tahun.
Banyak faktor yang menyebabkan kasus pernikahan anak, salah satunya pergaulan bebas. Pergaulan bebas yang menabrak norma-norma bermasyarakat turut berkontribusi pada kasus kehamilan remaja. Riskesdas (2018) memberi gambaran yang memilukan, yakni proporsi perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil 58,8 persen dan pada saat yang bersamaan sebesar 25,2 persen sedang hamil. Meski angkanya tidak diketahui secara pasti, yang jelas sangat memungkinkan insiden kehamilan di luar nikah memaksa anak-anak melangsungkan pernikahan.
Pergaulan bebas berkontribusi secara signifikan terhadap jumlah pernikahan usia anak. Kita pun menyadari bahwa remaja begitu rentan terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Kegemaran untuk mencoba hal baru dengan mudahnya membuat remaja terjebak pergaulan bebas. Diperparah dengan rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman para remaja mengenai bahaya pergaulan bebas pun turut menjadi faktor pendorong pergaulan bebas. Apalagi perkembangan IPTEK memungkinkan mereka untuk mengakses berbagai informasi dan menjalin interaksi dengan banyak orang. Selain itu, ketidakstabilan emosi dan pemikiran akan membuat kita semakin mudah untuk memilih pergaulan bebas sebagai tempat pelarian ketika sedang menghadapi masalah.
Hasil Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa seks bebas menjadi masalah utama remaja di Indonesia. Sebanyak 46% remaja berusia antara 15-19 tahun telah melakukan hubungan seksual dan 17,5% dari jumlah tersebut mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan.
Alhasil, pernikahan usia anak seakan-akan menjadi satu-satunya jalan untuk menghadapi kondisi tersebut. Pergaulan bebas dipandang sebagai tempat pelarian yang keren. Namun, alih-alih memberi kebahagian, hal tersebut sedikit demi sedikit membawa kita kepada kehancuran yang belum terlihat.
Pergaluan bebas juga tidak dapat dilepaskan dari pola pengasuhan orang tua. Sebagai seorang remaja, saya ingin menyadarkan para orang tua bahwa mereka memiliki tanggung jawab besar atas terjadinya fenomena pernikahan usia anak. Baik pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Tidak sedikit orang tua yang masih memiliki pemikiran kolot. Dalam artian orang tua cenderung merasa seluruh pilihannya adalah pilihan paling benar untuk anak. Sedangkan pilihan anak adalah pilihan yang bahkan tidak perlu dipertimbangkan.
Selain itu, sebuah pemikiran yang berkembang di kalangan orang tua adalah menganggap anak sebagai beban ekonomi yang dapat diatasi dengan menikahkan anak di usia belia. Mereka berpikir melalui pernikahan, anak mereka akan mampu mandiri dan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Akan tetapi, hal tersebut hanya angan-angan belaka. Kenyataannya pernikahan anak justru menghancurkan masa depan anak. Hal ini memasukkan anak ke dalam lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diputuskan.
Menikahkan anak di bawah umur sama saja merampas masa emas anak. Tentu melekat diingatan kita, salah satu kasus perjodohan anak di bawah umur yang terjadi di salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Barat. Kasus perjodohan tersebut adalah kasus perjodohan antara seorang remaja berusia putri 17 tahun dengan seorang kakek berusia 60 tahun. Pernikahan ini terjadi pada tahun 2022, tepatnya pada hari kamis, 10 Maret 2022. Pernikahan ini dilaksanakan setelah kesepakatan antar keluarga dengan mahar sebesar tujuh juta rupiah.
Selanjutnya sehubungan dengan tanggung jawab orang tua. “Sudahkah para orang tua memberikan perhatian yang cukup bagi anaknya?” “Apakah para orang tua telah mendidik anak mereka dengan benar?” Ada banyak pertanyaan yang dapat menjadi dasar bagi para orang tua untuk mengintropeksi diri dalam hal tanggung jawab mengasuh anak. Banyaknya anak-anak yang kurang menerima perhatian dan kasih sayang dari orang tua, membuat mereka salah memilih lingkungan untuk menumpahkan keluh kesah. Keluh kesah yang tidak tersalurkan dengan baik tidak jarang menggerakan anak-anak untuk lari ke pergaulan bebas.
Setelah mengulas mengenai penyebab pernikahan anak dari konteks perilaku anak dan pengasuhan orang tua. Tentu menjadi kewajiban mengetahui bahaya pernikahan usia anak, baik dari kesehatan biologis maupun kesehatan sosial.
Beberapa hasil penelitian menyebutkan 41% pasangan yang melakukan pernikahan usia anak berisiko mengalami gangguan mental, depresi, kecemasan, dan kepribadian ganda. Belum stabilnya emosi pasangan menyebabkan ketidakmampuan berpikir secara logis dalam mengambil keputusan ketika sedang menghadapi masalah. Bukannya mencari solusi melalui diskusi bersama, justru pasangan ini cenderung menghadapi masalah dengan emosi. Tidak jarang pula hal ini berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Remaja yang telah menikah kemungkinan besar akan berhenti bersekolah. Dengan kata lain, mereka telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dengan tepat waktu dan kesempatan untuk berprestasi. Bukankah sebagai seorang remaja sudah seharusnya kita mengisi masa muda untuk berkarya, berkarir, dan berprestasi? Bukankah sepatutnya kita memperjuangkan kehidupan yang layak bagi diri kita dan keluarga? Atau apakah justru teman-teman berpikir bahwa dengan menikah di usia remaja akan memberikan kehidupan yang lebih baik?
Kita semua perlu menyadari bahwa masa muda adalah masa emas yang tidak dapat diulang kembali. Dengan terjerumus ke dalam pernikahan usia anak dapat diumpakan bahwa kita telah mengubur anugerah yang menjadi milik kita. Maukah kita kehilangan suatu hal yang sangat berharga demi kesenangan raga semata? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut kembali pada diri kita masing-masing sebagai seorang remaja, juga kepada para orang tua.
Dengan demikian, saya ingin mengajak kita semua, baik teman-teman remaja bahkan para orang tua, mari bersama-sama menyadari dan memahami bahwa pernikahan usia anak bukanlah solusi bagi masalah apapun. Teman-teman, ayo kita menjaga diri dari bahaya pergaulan bebas dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Kita harus selalu mengingat bahwa Tuhan adalah tempat pelarian terbaik dari berbagai masalah. Marilah kita mengisi masa muda dengan belajar dan berkarya. Ingatlah bahwa ada hadiah menakjubkan yang menanti kita di masa depan. Pertanyaannya, apakah kita ingin memperoleh hadiah tersebut atau menyia-nyiakannya?