DOKTOR KAFIR

Oleh: Wajidi Sayadi

SULBARONLINE.COM, Opini – Pada tahun 1991, dosen saya di IAIN Alauddin Makassar Jurusan Tafsir Hadis bernama Dr. H. Harifuddin Cawidu disebut sebagai Doktor Kafir, sebab Beliau meraih gelar Doktor karena menulis Disertasi berjudul Konsep Kafir dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik.

Begitu juga dosen saya di Jurusan yang sama bernama Prof. Dr. Muhammad Ghalib, MA. Juga menulis Disertasi berjudul Ahlul Kitab Makna dan Cakupannya dalam Al-Qur’an.
Kedua Disertasi dan buku ini sangat bagus dan penting menjadi referensi untuk membincang tentang istilah kafir menurut al-Qur’an.

Dulu ramai perbincangan tentang istilah kafir lebih karena semangat kajian ilmiah, berbeda hari ini cenderung sensitivitas istilah kafir lebih karena sentiment emosional dan momentum politik dari pada kajian ilmiah.

Beberapa hari terakhir ini istilah kafir dan non muslim menjadi viral di media sosial online, sebagai respon terhadap hasil pembahasan dalam Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU), di Banjar Jawa Barat. Istilah non-muslim digunakan bagi warga negara yang bukan beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara dalam konstitusi negara kebangsaan, tidak menggunakan istilah kafir.
Pembahasan istilah kafir dan non muslim dalam Munas Alim Ulama NU ini bukan pada aspek akidah atau teologis, sebab hal itu sudah sangat jelas.

Namun di masyarakat dan media sosial on line, justru yang ramai dan viral seolah-olah ulama NU ingin merubah istilah kafir dalam al-Qur’an, merubah akidah, mengamandemen akidah, bahkan ada yang lebih nyinyir sekalian surat al-Kafirun dalam al-Qur’an diganti menjadi surat al-nonmuslim.

Saya tidak tahu, apakah respon seperti ini karena dipengaruhi oleh sentimen emosional kelompok karena ada kepentingan ingin membenturkan Nahdlatul Ulama (NU) dengan kelompok lainnya, atau karena ada kepentingan politik praktis atau karena faktor lainnya. Tapi inilah faktanya, terkadang bukan masalah, tapi karena momentum hiruk pikuk politik praktis, maka dipermasalahkan. Mudah-mudahan, pemilihan presiden dan wakil presiden segera selesai dan berakhir, pasti suasananya berubah.

Atas dasar inilah, maka hasil penelitian Doktor “Kafir” H. Harifuddin Cawidu menjadi penting diungkap kembali. Menurut Beliau istilah Kafir dengan segala macam bentuknya disebutkan dalam al-Qur’an sampai 525 kali. Dari jumlah tersebut, kafir diklasifikasi atas beberapa macam, yaitu:
1. Kafir Inkar, yaitu mengingkari, menolak, atau mendustkan eksistensi Allah, para Rasul, dan ajaran yang disampaikan.

2. Kafir Juhud, yaitu mengingkari dengan pernyataan lidahnya (kebenaran Rasul dan ajaran yang dibawanya), walaupun mengakuinya dalam hati.
3. Kafir Munafiq, yaitu mengingkari dalam hati, tapi mengakui dengan ucapan lidah. Kebalikan dari kafir Juhud, yang mengingkari dengan lidah, tapi mengakui dalam hati.

4. Kafir Syirik, yaitu mempersekutukan Allah dengan menjadikan sesuatu selain-Nya, sebagai sesembahan, objek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan.

5. Kafir Nikmat, yaitu melupakan atau menyembunyikan nikmat Allah. Penyalahgunaan nikmat, penempatan bukan pada tempatnya, penggunaannya bukan pada jalan yang diridhai Allah sebagai pemberi nikmat, mengingkari nikmat Allah.

6. Kafir Murtad, Murtad atau disebut riddah, yaitu berbalik kembali, maksudnya kembali kepada kekafiran dari keadaan beriman.

7. Ahlul Kitab, atau istilah lainnya أوتوا الكتاب,أوتوا نصيبا من الكتاب , اليهود, الذين هادوا,بني إسرائيل , النصارى .

Setiap jenis kekafiran tersebut mempunyai karakteristik masing-masing, bahkan secara khusus Ahli Kitab mempunyai karakteristik yang berbeda sebagaimana istilahnya juga berbeda-beda. Pembahasan tentang kafir tersebut secara teologis atau berdasarkan akidah Islam.

Ketika Allah memanggil orang-orang kafir dengan sebutan WAHAI ORANG-ORANG KAFIR, hanya 2 kali disebut dari 525 kata kafir itu. Pertama, قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُون (Katakanlah, Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (QS. Al-Kafirun, 109: 1).

Kedua, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (Wahai orang-orang kafir! Janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At-Tahrim, 66: 7).

Orang-orang kafir yang dipanggil secara terang-terangan dalam ayat tersebut adalah para penyembah berhala.

Ketika memanggil manusia secara umum dengan sebutan WAHAI SEKALIAN MANUSIA (يا أَيُّهَا النَّاسُ) hingga 19 kali. Kata an-Nas yang berarti wahai sekalian manusia, di dalamnya tercakup juga orang-orang kafir. Ini suatu makna dan pesan yang bisa diambil mengenai etika berkomunikasi terutama dalam komunikasi public social politik, walaupun diketahui bahwa mereka itu orang-orang kafir yang tidak seakidah, tapi dipanggil istilah yang lebih halus, yakni wahai sekalian manusia.

Dalam beberapa hadis, Rasulullah SAW. menyebutkannya dengan istilah MU’AHADAH dan AHLI DZIMMAH. Beliau bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Siapa membunuh seorang MU’AHADAH, maka ia tidak akan mencium aroma bau surga. Sesungguhnya aroma bau surga itu akan tercium dari jarak perjalanan 40 tahun. (HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr).

Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ عَامًا

Siapa yang membunuh seorang laki-laki dari AHLI DZIMMAH ia tidak akan mencium aroma bau surga. Sesungguhnya aromanya dicium dari jarak 70 tahun. (HR. Nasai dari ).

Mengapa Nabi Muhammad SAW. tidak menyebut secara langsung dan tegas “Siapa yang membunuh ORANG KAFIR? Beliau hanya menyebutnya MU’AHADAH, dan AHLI DZIMMAH? Padahal MU’AHADAH dan AHLI DZIMMAH secara akidah adalah orang kafir.

Rasulullah SAW. menyebut sebagai MU’AHADAH dan AHLI DZIMMAH secara sosial politik, sebagai warga negara Madinah, yang terikat perjanjian damai dan dilindungi oleh pemerintah Negara Madinah.

Dalam Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah SAW. terdiri atas 47 Pasal, perjanjian antara umat Islam dengan Yahudi, terdapat 21 suku orang-orang Yahudi disebutkan secara rinci dalam piagam itu. Namun mereka tidak diberi label dan disebut sebagai orang-orang kafir, kecuali hanya pada pasal 14 disebutkan: “ولا يقتل مؤمن مؤمنا فى كافر ولا ينصر كافرا على مؤمن (Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin lainnya karena (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang mukmin).

Piagam Madinah ini adalah piagam politik yang memuat perjanjian damai dalam konteks bermasyarakat, bertetangga, berbangsa dan bernegara. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang menyesuaikan konteksnya.

Hadis Rasulullah SAW. tersebut dan Piagam Madinah yang dibuat oleh Rasulullah SAW. menggunakan istilah Mu’ahadah dan Ahli Dzimmah, tidak menggunakan istilah Kafir, atau langsung menyebut nama agama yang bersangkutan sebagaimana dalam Piagam Madinah.
Bukan berarti merubah dan mengganti istilah kafir, apalagi sampai merubah keyakinan.

Ucapan dan perilaku Rasulullah SAW. adalah contoh konkrit dari praktek dan pengamalan dari al-Qur’an. Itulah sebabnya, para ulama mengajarkan bahwa membaca dan memahami al-Qur’an harusnya merujuk juga pada hadis dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW. dan penjelasan para ulama serta kaedah-kaedah tafsir.

Makanya jangan salahkan ketika lihat dan baca papan nama penunjuk arah jalan di Saudi Arabia tertulis kalimat طريق غير المسلمين For Non Muslim (Jalan bagi Non Muslim), papan nama lainnya tertulis للمسلمين فقط Muslims only (khusus untuk umat Islam) di sampingnya tertulis غير المسلمين Non Muslims (bagi yang bukan muslim), mengapa tidak ditulis طريق للكافرين For Kafirs (Jalan orang-orang kafir), للكافرين فقط Kafirs only (khusus untuk orang-orang kafir).

Kenapa?
Apakah masyarakat di Saudi Arabia merubah bahasa al-Qur’an?
Apakah merubah dan mengamandemen akidahnya, hanya karena menggunakan istilah non muslim?

Penggunaan istilah non muslim bagian dari etika sosial, etika komunikasi public, sosial politik, walaupun secara akidah atau teologis mereka yang mengingkari Allah dan Rasulullah SAW. dan rukun iman lainnya adalah kafir.

Misalnya, dalam satu keluarga, orang tuanya bukan muslim, saudara-saudaranya juga penganut agama lain, secara akidah diakui bahwa mereka kafir, tapi pada tataran komunikasi sosial budaya atau pun politik dia disebut sebagai keturunan non muslim, tidak disebut dia keturunan orang kafir.

Misalnya, Anda memimpin doa bersama, izinkan saya memimpin pembacaan doa ini sesuai ajaran Islam, bagi saudara-saudara NON MUSLIM, silakan berdoa sesuai kepercayaan agama masing-masing.

Apakah Anda mengatakan izinkan saya memimpin pembacaan doa ini sesuai ajaran Islam, bagi saudara-saudara YANG KAFIR, silakan berdoa sesuai kekafirannya?

Wallahu A’lam.

Pontianak, 3 Maret 2019.