Oleh: Dr. Muhammad Said, S.Th.I, M.Th.I (Dosen STAIN Majene)
OPINI — Dinamika dan dialektika ilmu pengetahuan terus berkembang, seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Kajian dan penelitian ilmiah, juga secara intens dilakukan, baik secara lembaga maupun secara individu yang menitik beratkan pada fenomena dan realitas sosial-budaya yang semakin modern, dan praktek keagamaan sebagai refleksi dari pemahaman terhadap teks-taks suci al-Quran. Hal tersebut menghasilkan paradigma berpikiran dan teori baru dari para cendekiawan dan kaum intelektual Muslim.
Mencermati kondisi zaman dalam konteks kekinian, dimana pemahaman dan teori berpikir menjamur di mana-mana, dan masing-masing membawa karakteristik dan metode berpikir yang berbeda-beda. Akibatnya adalah, munculnya kelompok-kelompok yang tidak segan-segan mengaku sebagai aliran baru, bahkan ada yang mengaku sebagai agama baru, dengan membangun satu rumusan akidah baru, yang akhirnya mengangkat seseorang dari kelompoknya sebagai nabi yang diyakininya. Hal ini merupakan gambaran dari hasil berpikir. Terlepas dari apa yang menyebabkan atau melatar belakangi, bahkan mungkin kepentingan di balik semua itu, yang jelas realitasnya ada di tengah-tengah masyarakat sekarang ini.
Olehnya itu, dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan suatu terobosan dari komunitas intelektual Muslim untuk menemukan suatu teori, metode atau paradigma berpikir cemerlang yang tidak meninggalkan koridor norma-norma agama. Namun dapat memberikan kontribusi pemikiran yang akan menjadi jembatan umat Islam dalam mencari solusi dari segala problema yang dihadapinya.
Selain itu, komunitas intelektual muslim yang dimaksud, mampu menyajikan hidangan pemahaman yang mengakomudir segala lapisan. Akan tetapi tidak keluar dari substansi ajaran Islam. Al-Quran sebagai kitab suci akan menjadi sentral kajian atau obyek kajian dari berbagai kalangan, namun tidak menutup kemungkinan akan melahirkan pemahaman terhadap teks al-Quran secara ekstrim, dan ada pula yang terlalu longgar, Hal ini bisa terjadi jika tidak menggunakan pendekatan dan paradigma berpikir yang benar.
Sehubungan dengan itu, judul di atas diangkat dari potongan judul buku karya salah seorang tokoh intelektual kontemporer yang dianggap telah menemukan metode berpikir atau paradigma berpikir yang digali dari al-Quran yakni Lias Hasibunan. Pemikirannya tersebut telah tertuang dalam sebuah buku yang berjudul Berpikir Reflektif Qurani: Menembus Tabir Aqidah, Menemukan Pemahaman yang Mencerahkan.
Dalam prakata penulis, Lias Hasibuan mengungkapkan bahwa dalam karyanya tersebut, memuat beberapa hal mengenai aktivitas berpikir reflektif sebagai pendekatan dan metode pendidikan Islam untuk meningkatkan mutu pemahaman agama (akidah). Metode berpikir reflektif ini, berorientasi pada bagaimana berpikir benar untuk mencapai akidah non verbal” yakni kesesuaian antara iman, pemahaman, ucapan dan prilaku. Betapa banyak orang yang mengaku beriman dan berakidah, namun tetap melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai agama. Hal ini disebut akidah verbal” yakni ketidak sesuaian antara iman, pemahaman dengan tindakan, sehingga dianggap sangat perlu untuk kembali menghidupkan kesadaran akidah dalam pikiran orang-orang yang mengaku berakidah. Maka metode paling tepat untuk mentransformasikan potensi-potensi akidah menjadi kesadaran dalam berpikiran agar tidak menghasilkan akidah yang menyimpang adalah dengan menerapkan metode berpikir reflektif Qurani. Dalam hal ini, kita melakukan studi terhadap pemikiran Lias Hasibuan tentang “Berpikir Reflektif Qurani dari aspek eksplorasi beliau dalam persoalan akidah. (Majene, 17 Agustus 2020).