BERPIKIR REFLEKTIF QURANI: Sebuah Alternatif Antara Akidah Verbal dengan Akidah Nonverbal 04

Oleh: Dr. Muhammad Said, S.Th.I, M.Th.I (Dosen STAIN Majene)

Idealnya sebuah akidah dalam perspektif al-Qur’an adalah kemampuannya membuat manusia tunduk secara totalitas terhadap Allah melalui syariat yang disampaikan oleh Rasul-Nya. Ketundukan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada ucapan, melainkan juga ketundukan atau kesadaran akidah yang termanipestasi dalam tindakan nyata dalam kehidupan. Pemahaman akidah yang demikian adalah pemahaman “akidah nonverbal” yakni suatu pemahaman akidah seseorang dimana kebenaran dan kebaikan tidak hanya terpantul dari lisannya, akan tetapi juga dibuktikan melalui sikap dan perilaku berdasarkan dalil dan nas-nas al-qur’an dan hadis. Sedangkan pemahaman “akidah verbal” yakni pemahaman akidah yang hanya ditunjukkan melalui kata-kata, sedangkan sikap dan perbuatan menyalahi ketentuan norma agama dan norma sosial.

Pemahaman dan pemaknaan terhadap akidah nonverbal berarti seseorang lebih mengedepankan perenungan dan pengkajian melalui pikirannya terhadap kebenaran-kebenaran akidah yang dimilikinya, sehingga menjadi dasar yang kuat tentang kebenaran dan keyakinan agamanya. Salah satu ayat yang mendorong pemahaman akidah nonverbal adalah Qs. Ar-Rum: 8: Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan..

Ayat tersebut di atas, merupakan ayat yang dijadikan landasan Lias Hasibuan dalam memberikan alasan adanya metode pemahaman “akidah nonverbal”, karena menurutnya bahwa ayat ini mengajak manusia untuk merefleksikan penciptaan langit dan bumi serta segala yang ada di dalamnya bahwa Allah ciptakan dengan benar. Sekaligus mendorong manusia agar berani melakukan penalaran-penalaran ilmiah dengan pemikiran melalui instrumen-instrumen fenomena alam dan sosial, sehingga mendapatkan keyakinan terhadap kebenaran Allah.

Selanjutnya, menurut Lias bahwa pemahaman “akidah verbal” menunjukkan adanya ketidakmampuan dalam merefleksikan apa yang dilihat dan didengar dari kehidupannya. Maka kompetensi yang diinginkan oleh metode berpikir reflektif adalah bagaimana seseorang mendapatkan kemampuan untuk merefleksikan segala ciptaan Allah Swt., baik yang dilihat maupun yang didengar, sehingga mampu mendapatkan kebenaran, sekaligus menjadi dasar untuk memantapkan keyakinan agama. Keyakinan yang demikian itu adalah produk dari implementasi metode berpikir reflektif Qur’ani. (Majene, 8 September 2020).