Belum Ada Tersangka, SOMPHAD Desak Kejati Sulbar Tuntaskan Kasus Replanting di Mateng

SULBARONLINE.COM, Mamuju — Kasus replanting atau peremajaan tanaman sawit di Mamuju Tengah (Mateng) yang bergulir di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulbar dinilai jalan di tempat. Beberapa bulan kasus tersebut berjalan, namun belum ada satupun tersangka yang ditetapkan oleh Kejati Sulbar.

Hal itu ditegaskan oleh Ketua Lembaga Solidaritas Pemerhati Hutan dan Anti Diskriminasi (SOMPHAD) Sulawesi Barat, Muhammad Amril Daeng Marrui, Senin (18/10/21).

Menurut Amril, jika dilihat dari awal pemeriksaan kasus tersebut sampai saat ini, dapat dipelajari bahwa fenomena kasus replanting telah menjadi wacana hangat bagi publik.

Kata Amril, kasus replanting diibaratkan sebagai sebuah bom yang terpendam dalam tanah, jika tersentuh secara tepat, maka akan melahirkan ledakan yang cukup dahsyat. Sehingga semua orang yang berada di sekitarnya akan terhantam ledakannya.

“Olehnya itu publik menunggu dengan tepat saat mana Kejati Sulbar menyentuh dengan tajam kasus replanting ini, sehingga membuat segenap yang berpotensi melakukan kesalahan akan segera tertangkap dan diadili melalui proses hukum yang berlaku di negeri ini,” kata Amril.

Aktivis Sulbar yang akrab disapa Rio ini mengaku, penyalahgunaan wewenang yang diduga dilakukan oleh Kadis Pertanian dan kroni-kroninya bak dayung bersambut atas semua yang terlibat di dalam kesalahan tersebut, sehingga atas nama hukum dan keadilan akan menyeret semuanya ke dalam jeruji besi.

Sejumlah persoalan dalam kasus ini, tambah Rio, mulai dari kesiapan lahan atas kuota yang turun tak seimbang dengan jumalah perkebunan sawit yang hendak direplanting, sehingga sebagian kuota replanting justru menjadi penanaman sawit pada lahan baru atau sapras.

Selanjutnya, tentang kuota replanting yang ditanam di atas kawasan hutan lindung di wilayah kecamatan Karossa, Mamuju Tengah.

Selain itu, lanjut dia, tentang sebahagian kelompok penerima program replanting adalah kelompok yang tak memenuhi syarat menjadi kelompok penerima, yang akhirnya membuat penanaman sawit replanting di atas tanah yang bukan areal perkebunan sebelumnya.

“Hal ini dibuktikan di beberapa titik tidak ditemukanya tumbang cipping (sisa penebangan pohon kelapa sawit/akar bawah sawit), ini adalah fakta bahwa program replanting, dilakukan di areal lahan baru,” ungkapnya.

Maka hal ini, kata Rio, merupakan penyalah gunaan wewenang yang telah dilakukan oleh Kadis Pertanian. Belum lagi tentang dana tunggu yang diserahkan kepada kelompok tani penerima program replanting, yang diduga jumlahnya tak sesuai dengan jumlah yang seharusnya diterima oleh kelompok penerima.

“Dimana seharusnya setiap pemilik lahan dalam kelompok menerima Rp.30 juta perhektar, namun ditengarai petani menerima kurang dari Rp.30 juta. Sehingga, tentunya akan sangat strategis jika Kejati sulbar menjadikannya sebagai fakta penyidikan untuk segera melahirkan tersangka dalam program replanting,” jelasnya.

Menurut Rio, sebelumnya Kejati Sulbar telah memenggil beberapa orang untuk kebutuhan penyidikan, namun sudah lebih satu bulan penyidikan tidak ada tersangka sama sekali yanh ditetapkan oleh Kejati.

“Belum juga ada kepastian hukum. Hal ini membuat kami dari Somphad menjadi kurang yakin bahwa Kejati akan menjadi kekuatan hukum yang baik untuk penegakan supremasi hukum yang dapat diharapkan. Kejati mestinya membuka ke ruang publik atas tiap tahapan penyidikan yang dilakukannya, sehingga publik tidak membuat dugaan liar atas kualitas penegakan supremasi hukum untuk penyelesain kasus replanting yang seadil-adilnya,” tutup Rio.

Editor: Iqbal