Bacapres Tidak Percaya Diri Berharap Cawe Cawe Jokowi

Oleh : Sutrisno Pangaribuan
Presidium Kongres Rakyat Nasional
(Kornas)

SULBARONLINE.COM — Bakal calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo (Ganjar) menyebut desain baju hitam putih yang digunakannya, diberikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ganjar menyampaikan hal tersebut saat bertemu dengan para relawan pendukung dalam agenda Silaturahmi 1 Muharram 1445 H di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, Rabu (19/7/2023). Bersama para relawan, Ganjar serentak memakai kemeja dengan motif garis hitam dan putih.

Sebelumya Prabowo mengunggah momen pertemuan dengan Jokowi dan Erick Thohir di akun Instagram resminya, Selasa (18/7/2023). Ketiganya bertemu di Istana Bogor, Minggu sore (16/7/2023). Dalam foto yang diunggah Prabowo, ketiganya duduk di meja makan bundar. Di atas meja, tersaji sejumlah hidangan seperti kelapa dan beberapa makanan. Presiden Jokowi yang duduk di tengah memakai kemeja putih. Sementara itu, Prabowo yang mengenakan kemeja biru lengan pendek duduk berhadapan Erick Thohir yang mengenakan batik cokelat lengan panjang. Ketiganya terlihat membicarakan hal penting, yang mungkin salah satunya tentang corak atau warna baju kampanye untuk Prabowo.

Sementara itu, beberapa waktu yang lalu, Anies Rasyid Baswedan ( Anies) bertemu Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, Walikota Solo, di Hotel Novotel Solo. Keduanya membahas banyak hal terkait tata pemerintahan, meski keduanya mengaku tidak membahas persoalan politik. Anies mengatakan pertemuannya dengan Gibran tersebut hanya sebatas silaturahmi biasa, sekaligus sarapan bersama. “Kita sedang silaturahmi santai dan sekarang mau ke acara Haul, mudah-mudahan acaranya lancar. Saya mendoakan Mas Gibran selalu sehat, dan dimudahkan dalam menjalankan amanah ini. Saya senang sekali pagi ini bisa menyambut beliau, sarapan bersama, ngobrol. Banyak hal yang kita obrolin,” kata Anies.

Manuver Politik, Elit Cari Panggung

Hingga saat ini, ketiga bacapres yang selalu masuk dalam urutan tiga besar hasil survei capres sama sekali belum pernah menyampaikan ide, gagasan, dan program politiknya. Kubu pemerintah, baik Prabowo maupun Pranowo masih terpasung konsep “keberlanjutan dan kesinambungan program Jokowi”. Sementara kubu oposisi, Anies yang mengusung tema “perubahan” pun sama sekali tidak jelas bagian mana yang akan diubah. Akibatnya percakapan politik di ruang publik kering dan kosong, hanya terkait kulit, bukan isi. Sehingga dinamika politik hanya diisi gosip, rumor, dan berita yang tidak bermutu.

Dalam ruang politik yang sepi dari pertengkaran ide, gagasan, dan program politik, maka akan muncul manuver politik dari elit yang akan cari muka sekaligus cari panggung. Elit yang biasa diberi karpet merah namun tiba- tiba menjadi orang biasa pasca kehilangan panggung. Adalah Effendi Muara Simbolon yang sebelumnya ribut dengan KASAD Jenderal Dudung Abdurrahman.

Effendi kembali melakukan manuver dengan mengundang Menhan Prabowo di acara komunitas marga Simbolon, PSBI. Setelah tidak menjadi Ketua DPP PDIP, Effendi menunggangi komunitas sub Batak, marga Simbolon untuk melancarkan manuver politiknya. Dalam acara tersebut Effendi mengatakan “Saya secara jujur berharap Indonesia dinahkodai oleh pemimpin yang punya kehandalan,” kata Effendi.

Demikian juga dengan koleganya, mantan Ketum PRD, salah seorang arsitek dibalik ide perpanjangan masa jabatan kades, kader PDIP, Budiman Sudjatmiko. Budiman tidak mau ketinggalan, mengikuti langkah Budi Arie Setiadi melakukan manuver dengan menyambangi Prabowo di kediamannya. Prabowo yang yakin mendapat tambahan amunisi dari “aktivis besar” pun menyambut Budiman lengkap dengan sejumlah elit Gerindra.

Di akhir pertemuan Budiman memuji Prabowo sebagai salah satu tokoh terbaik di Indonesia untuk memimpin. Ia berharap Prabowo dapat menuntaskan tugasnya dengan lancar. “Saya berharap Pak Prabowo sehat, teruskan tugas, tunaikan tugas. Dan saya ingin orang Indonesia layak untuk mendapatkan orang terbaik, salah satunya Pak Prabowo,” kata Budiman.

PDIP pun kembali bereaksi, dengan pemanggilan klarifikasi kepada Budiman. PDIP kini memiliki salah satu program unggulan yakni pemanggilan kader yang dianggap offside. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, PDIP tercatat telah memanggil FX Hadi Rudyatmo, Gibran Rakabuming Raka, Effendi MS Simbolon, dan terakhir Budiman Sudjatmiko. Biasanya semua akan mendapat teguran, diakhiri sumpah setia terhadap perintah ibu Ketum.

Pilpres 2024 Harus Bermutu

Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menilai hingga saat ini belum ada ide, gagasan, dan program politik dari bacapres yang jelas dan nyata. Maka Kornas menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:

Pertama, bahwa semua bacapres, khususnya Prabowo dan Pranowo masih menjadikan Jokowi sebagai faktor pertama dan utama dalam pertarungan menjelang Pilpres. Tingginya tingkat kepercayaan dan kepuasan publik atas capaian program pemerintahan Jokowi menjadikan Prabowo dan Pranowo terus mendompleng nama Jokowi. Oleh para pendukung, Keduanya diklaim sebagai penerus Jokowi, sehingga memilih slogan: keberlanjutan dan kesinambungan.

Kedua, bahwa bacapres kelompok oposisi, Anies juga tidak memiliki ide, gagasan, dan program politik konkrit terkait tema perubahan. Salah satu “ide perubahan” yang dilontarkan Anies baru berupa pembentukan kementerian urusan perkotaan. Kementerian tersebut dipilih Anies karena pemerintah hari ini dianggap hanya fokus kepada urusan desa melalui kementerian desa. Menurut Anies, kementerian urusan perkotaan tugasnya untuk menyusun standar perkotaan di Indonesia.

Ketiga, bahwa pertengkaran dan perdebatan sepi dari ide, gagasan, dan program politik yang konkrit sebagai akibat dari buruknya sistem rekrutmen di partai politik. Parpol dikendalikan dan dikuasai oligarki, baik karena kekuatan modal maupun karena kekeluargaan dan kekerabatan. Dinamika parpol tidak terkait kebutuhan dan kepentingan rakyat, tetapi hanya seputar kepentingan kelompok elit partai. Akibatnya parpol hanya diisi oleh pemilik modal dan para penjilat yang mampu memuja dan menghamba pada pemilik dan pemimpin parpol.

Keempat, bahwa kontestasi demokrasi tidak bermutu karena para aktivis reformasi sudah cukup puas ketika diberi remah- remah kekuasaan. Mereka jinak setelah diberi jabatan- jabatan komisaris, direksi, staf khusus, staf ahli, di pemerintahan, BUMN dan anak perusahaan BUMN. Sebagian lagi sudah cukup puas memperebutkan jabatan- jabatan penyelenggara Pemilu adhoc lima tahunan, maupun pada lembaga atau komisi negara lainnya. Para aktivis justru tidak berani bertarung jadi kepala daerah, legislatif, atau capres. Akhirnya setiap kali ada kontestasi demokrasi lima tahunan, semua berlomba membentuk kelompok relawan pendukung sebagai alat negosiasi politik kemudian terhadap yang didukung.

Kelima, bahwa kekuatan Jokowi pada Pilpres 2014 bersumber dari dalam dirinya kemudian didukung oleh rakyat. Maka para bacapres 2024 seharusnya menggali, menampilkan kekuatan yang bersumber dari dalam diri sendiri, bukan dari Jokowi. Pilpres 2024 tidak akan menarik jika bacapres hanya mengandalkan pengaruh dari simetris atau asimetris terhadap Jokowi. Maka para bacapres harus percaya diri menyampaikan ide, gagasan, dan program politiknya.

Keenam, bahwa saatnya tidak menarik- narik Jokowi dalam memengaruhi pemilih di pilpres 2024. Maka para bacapres tidak selalu menyebut nama Jokowi dalam materi sosialisasi pun gambar wajahnya tidak ditampilkan di alat peraga maupun bahan sosialisasi. Jika para bacapres ingin memastikan Indonesia akan lebih baik dan lebih maju, maka syaratnya kualitas bacapres harus jauh lebih bagus dari Jokowi.

Kornas akan terus bergerak demi Pemilu 2024 yang berkualitas sehingga partisipasi politik rakyat semakin meningkat.