MENYONSONG SEABAD NAHDLATUL ULAMA

SULBARONLINE.COM, Opini – Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, dan bahkan terbesar di Dunia yang konon memiliki anggota mencapai 90 juta orang di seluruh dunia. Data tersebut memang realistis melihat Nahdlatul Ulama memiliki Pengurus Cabang hampir di seluruh Kabupaten/Kota, Pengurus Wilayah di tingkat Provinsi dan Pengurus Cabang Istimewa yang tersebar di beberapa Negara sahabat yang terdapat warga nahdliyinnya.

Nahdlatul ulama juga menjadi salah satu organisasi masyarakarat tertua di Indonesia, yang didirikan 31 Januari 1926 M. Namun Nahdlatul Ulama sebagai paham keagamaan sebenarnya telah berusia ratusan tahun, setara dengan usia Islam di Indonesia.

Dalam rangka menyonsong seabad Nahdlatul Ulama yang akan jatuh pada tahun 2026 mendatang, Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan usianya yang makin menua dan tentunya telah banyak memberikan sumbangsih terhadap masyarakat, bangsa dan negara ini. Nahdlatul Ulama telah memiliki capaian yang luar biasa dalam mengembangkan paham keagamaan yang moderat, toleran serta pelopor menghargai perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan.

Gagasan persaudaraan yang di gaungkan Nahdlatul Ulama di bangsa ini, bukan hanya persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), tetapi juga persaudaraan dalam konteks kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan dalam konteks kemanusiaan (ukhuwah basyariyah).

Dengan kemajemukan dan keberagaman yang menjadi identitas tersendiri bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama harus tetap menjadi pelopor pemikiran keislaman yang berorientasi terhadap kebangsaan dan kemanusiaan. Apa lagi di tengah maraknya gerakan hoaks dan radikalisme, yang mulai berkembang pesat dan menjadi sebuah ancaman tersendiri untuk keberlangsungan bangsa Indonesia.

Hal terpenting sesungguhnya, memastikan gerakan masyarakat sipil organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama, dapat menjadi salah satu kekuatan dalam pemberdayaan masyarakat  untuk menangkal dan menyadarkan masyarakat umum terhadap berbagai gerakan yang mengancam keutuhan NKRI.

Pasca Nahdlatul Ulama  Kembali ke Khithah 

Perjalanan panjang Nahdlatul Ulama dalam mengawal keberlangsungan negeri ini dilakukan dengan berbagai posisi.

Pertama, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan yang dilakukan sejak awal berdirinya sampai dengan fase awal kemerdekaan Indonesia.

Kedua,  Nahdlatul Ulama pernah menjadi partai politik, baik itu dilakukan secara independen sebagai Partai NU, maupun saat NU bergabung dengan partai masyumi di era orde lama dan saat NU melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat pemerintahan orde baru.

Ketiga, Nahdlatul Ulama keluar dari wilayah politik praktis sejak 1984 yang dikenal dengan istilah Kembali ke Khittah.

Namun Nahdlatul Ulama sampai saat ini memiliki partai ideologis yang menjadi kendaraan warga nahdliyin jika memiliki hasrat terjun di dunia politik.

Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama selalu dihadapkan pada persoalan dilematis saat menghadapi setiap peristiwa politik penting di negeri ini mulai dari tingkat nasional sampai dengan tingkat daerah. Di satu sisi, setelah Muktamar Situbondo pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama memutuskan kembali ke Khithah 1926, yaitu menegaskan kembali posisi NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan tidak berpolitik praktis. Namun, disisi lain, realitas Nahdlatul Ulama yang memiliki basis massa yang sangat besar membuat Nahdlatul Ulama menjadi magnet tersendiri di ranah politik praktis apalagi saat momentum pesta demokrasi seperti saat ini.

Kebesaran Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan menimbulkan potensi besar tersendiri dikalangan warga nahdliyin, sehingga terdapat beberapa tokoh Nahdlatul Ulama yang memiliki kualitas, sehingga dilirik agar terjun di dunia politik dan meninggalkan struktural Nahdlatul Ulama, sebagai representatif warga nahdiliyin.

Sejatinya walaupun saat ini Nahdlatul Ulama menjadi organisasi kemasyarakatan, namun sejak lahirnya Nahdlatul Ulama tidak mampu terlepaskan dari nuansa politik. Karena kelahiran Nahdlatul Ulama dipengaruhi oleh kondisi sosial politik masyarakat saat itu. Namun yang terpenting adalah nomenklatur politik yang harus selalu dilakukan Nahdlatul Ulama adalah politik kebangsaan, kerakyatan dan kemasyarakatan. Melihat kenyataan tersebut, memisahkan Nahdlatul Ulama dari dunia politik sepertinya memang susah.

Namun yang harus tetap menjadi perhatian elite Nahdlatul Ulama bukan hanya bergulat di dunia politik praktis, tetapi kondisi jama’ah dan jam’iyah Nahdlatul Ulama yang semestinya menjadi perhatian penting terutama di daerah – daerah. Apa yang seharusnya dilakukan dan dipikirkan elite Nahdlatul Ulama pada hakikatnya harus mengacu pada pembinaan keagamaan dan pemberdayaan kesejahteraan masyarakat.

Tantangan Masa Depan Nahdlatul Ulama 

Bukan hanya warga nahdliyin yang meyakini, tetapi bangsa ini pun telah meyakini dan menyaksikan bahwa Nahdlatul Ulama merupakan organisasi kemasyarakatan islam yang menjadi kekuatan sosial politik yang menentukan masa depan bangsa ini. Perjuangan Nahdlatul Ulama telah di buktikan saat merebut, mengisi dan mempertahankan bangsa Indonesia dari rongrongan penjajah.

Keberadaan Nahdlatul Ulama memang memiliki sebuah arti tersendiri di negeri ini, namun permasalahan silit berganti yang menerpa bangsa ini pun membuat Nahdlatul Ulama menjadi organisasi masyarakat yang selalu pasang badan “benteng” untuk tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di era globalisasi seperti saat ini, tentunya permasalahan bangsa tidak seperti melawan penjajah zaman dulu. Namun tantangannya saat ini adalah hoaks dan islam radikal. Hoaks yang berkembang di bidang teknologi informasi tentunya sering kita jumpai di media sosial. Akhir – akhir ini issu hoaks menjelang pesta demokrasi mendatang menjadi hal yang sering kita jumpai. Begitu juga gerakan hoaks silih berganti menyerang Nahdlatul Ulama, seperti  saat setelah pelaksanaan harlah Muslimat NU ke 73 di Gelora Bung Karno Jakarta, tanggal 27 Januari 2019 lalu. Ini sesungguhnya mewajibkan kalangan warga nahdliyin untuk selalu melek teknologi informasi, agar kiranya mampu meluruskan dan melawan gerakan hoaks yang dilakukan oleh orang yang sengaja menyebar berita bohong, untuk memperkeruh situasi dan kondisi bangsa.

Tantangan selanjutnya, Nahdlatul Ulama berhadapan dengan gerakan islam radikal yang merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan islam radikal mulai menyebar mengisi ruang – ruang strategis, merambah ke majid – masjid dan bahkan telah masuk serta menyebarkan paham radikalnya di pesantren – pesantren, yang notabenennya pesantren merupakan jantung kekuatan Nahdlatul Ulama. Kalau Nahdlatul Ulama dikatakan sebagai “benteng” NKRI, maka jantung “benteng” Negara ini telah di susupi penyakit kronis yang disebut Islam Radikal. Menurut hasil penelitian Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Nahdlatul Ulama beberapa waktu lalu, menemukan 41 masjid di lingkungan Kementerian dan BUMN yang di duga terpapar paham radikal. Belum lagi tantangan Nahdlatul Ulama membentengi kampus – kampus dari serangan paham radikal yang mulai berkembang di kalangan mahasiswanya.

Sehingga tugas warga nahdliyin adalah tetap menyebarluaskan paham islam ahlussunnah wal jamaah dengan konsep tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), I’tidal (adil) dan tasamuh (toleransi), sebagai penangkal dasar gerakan paham radikal.

Namun terkadang yang menjadi kelemahan organisasi Nahdlatul Ulama  adalah pada system pengelolaan organisasi yang kurang baik, apa lagi di daerah – daerah yang kurang memiliki basis pesantren. Dan mungkin salah satunya wilayah tersebut, ada di tempat tinggal penulis sendiri. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh : Wais Walkorni (Generasi Muda Nahdlatul Ulama Sulawesi Barat/Mantan Ketua Cabang PMII Mamuju 2017 – 2018).