Oleh: Dr. Muhammad Said, S.Th.I, M.Th.I (Dosen STAIN Majene)
Tulisan ini adalah edisi terakhir dari tulisan yang bertema “berpikir reflektif qur’ani”. Berpikir reflektif adalah kemampuan seseorang untuk memberikan refleksi pada segala sesuatu yang menjadi obyek dari apa yang telah dipikirkannya. Lias Hasibuan memberikan analogi tentang berpikir reflektif dengan mengatakan bahwa seperti seseorang yang berdiri di depan kaca, ia dapat melihat secara sempurna penampilannya di kaca, dari penglihatannya itu, ia dapat menghasilkan penilaian sendiri terhadap dirinya, apakah ada yang kurang atau lebih.
Lias dalam konsep berpikir reflektif ini mengambil Qs. Ali Imaran: 190-191: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Pada ayat tersebut, kata yatafakkaru mengandung arti kontempalasi yang berarti merenung yakni membulatkan pikiran dan perhatian terhadap sesuatu. Harun Nasution juga menggunakan istilah kontempalasi dalam hubungannya dengan usaha-usaha mansuia berkomunikasi kepada Tuhan. Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa dalam berpikir reflektif, rangsangan atau alat berpikir terdiri dari tiga aspek yang penting yaitu: pengalaman pengindraan (empirisme), ingatan (memori/hasil-hasil pengalaman pengindraan) dan imaginasi (menghadirkan jawaban dari sesuatu masalah yang dipikirkan).
Oleh karena itu, makna konsepsi berpikir reflektif dalam al-Quran adalah untuk mewujudkan lahirnya kemampuan berpikir seseorang yang mampu merefleksikan kebenaran-kebenaran Tuhan di dalam kehidupannya (akidah non verbal). Jika sudah demikian, maka apapun bentuk pengaruh terhadap dirinya tentang hal-hal yang berkaitan keyakinan atau akidah tidak akan mampu mempengaruhinya.
Di akhir tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa epistemologi atau metode berpikir reflektif Qurani bertujuan untuk merefleksikan segala sesuatu (fenomena alam) melalui potensi berpikir yang benar untuk menemukan hakikat kebenaran akidah yakni akidah nonverbal, yaitu akidah yang termanipestasi dalam ucapan dan tindakan. (Majene, 15 September 2020).