Oleh : Usman Suhuriah (Wakil Ketua DPRD Sulbar | Fraksi Golkar)
Dua hari lalu (Senin, 12/9/2022) saya menyempatkan diri untuk hadir dalam acara promosi doktor Arsal Aras, Ketua DPRD Mamuju Tengah, untuk bidang administrasi publik Universitas Hasanuddin. DR. Arsal Aras, SE,M.Si selaku promovendus, tampil mempertahankan tesisnya di hadapan para penguji.
Promosi doktor Arsal Aras yang digelar di Auditorium Prof. A. Amiruddin Fakultas Kedokteran Unhas ini, sedikitnya memiliki daya tarik. Itu karena tesis yang diajukan berhubungan dengan pentingnya tindakan kolektif (collective action) untuk memajukan suatu daerah.
Uraian tesisnya adalah mengacu pada teori Carlsson (2000). Dimana teori ini menetapkan 6 (enam) dimensi dasar untuk melihat pengelolaan pemerintahan. Apakah mengindikasikan terbangunnya tindakan kolektif atau hanya merupakan tindakan individual (individual action).
Keenam dimensi yang disebutkan diantaranya ; 1) Dimensi faktor kontekstual. Dimensi ini melihat ketersediaan sumberdaya dan potensi yang dimiliki. 2) dimensi definisi. Masalah ini berkaitan dengan apa yang dihadapi oleh pemangku kepentingan dan perumusan tantangan yang dihadapi. 3) Dimensi pertumbuhan dan penyebaran kepercayaan. Ini berkaitan dengan bagaimana pemangku kepentingan memahami secara bersama pentingnya suatu permasalahan. 4) Dimensi pretisipasi. Ini dikaitkan dengan apakah terdapat keputusan politik yang dapat mendorong terbentuknya tindakan kolektif para aktor untuk memecahkan suatu masalah. 5) Dimensi mobilisasi aktor untuk mengembangkan suatu kebijakan, yang diarahkan sebagai penggerak collective action. Dan 6) Dimensi koordinasi dan kontrol. Ini dikaitkan dengan mekanisme yang didesain oleh pemerintah (leading sector) untuk menjalankan koordinasi dan kontrol.
Teori Carlsson sebagai pegangan tesis Arsal Aras, dihubungkan dengan beberapa skenario yang ditawarkan agar wilayah pemerintahan di daerah bisa mendorong aksi kolektif (model jaringan kebijakan), menghendaki adanya kelembagaan terpadu. Ini didesain guna mengakomodir dan memfasilitasi para aktor untuk bekerja. Dimana kelembagaan ini memuat peran dan tanggungjawab, serta diikuti petunjuk teknis bagi para pemangku kepentingan. Hal yang dimaksud terakhir adalah jaringan kebijakan itu ditopang oleh regulasi yang kuat, berupa perda/pergub/perbup/perwali.
Tidak heran bila tesis tersebut diangkat untuk melihat permasalahan di daerah. Mungkin juga berkaitan dengan pengalaman promovendus selama ini sebagai legislator di daerah. Yaitu banyak sekali masalah yang bertentangan dengan kebutuhan tindakan kolektif.
Fakta ego sektoral merupakan salah satu hal yang dapat dilihat betapa perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan lebih condong berjalan sendiri-sendiri, tanpa diikat oleh pertimbangan dan kesadaran terhadap aksi kolektif.
Bahwa ego sektoral yang terjadi sebagaimana didorong oleh tarikan kepentingan para pihak, tentu saja berubah menjadi aksi yang berlawanan dengan aksi kolektif. Yang dalam prakteknya semakin sulit diukur keberhasilan apa yang dicapai dibandingkan dengan dukungan sumberdaya/anggaran yang telah diberikan.
Dukungan manajemen, waktu yang terbuang, anggaran yang dikucurkan dst, sedikitnya berakhir “musnah”, untuk selanjutnya membawa kerumitan lebih jauh untuk menentukan siapa aktor dan apa bentuk penyebabnya sehingga penetapan hasil tidak dapat dicapai. Kita lihat target pencapaian oleh OPD/SKPD yang telah ditetapkan begitu rupa selalu meleset dengan target tak tercapai ?
Belajar dari tesis Arsal Aras ini, untuk mengatakan Sulbar perlu belajar kepada tesis Arsal Aras ini, mengingatkan kita akan pentingnya dukungan politik semua pihak. Untuk bersungguh-sungguh menyatukan langkah dan tindakan (collectiv action) dalam menghadapi sejumput masalah yang di hadapi daerah.
Tentang stunting dengan prevalensinya sangat tinggi, angka pengangguran, anak putus sekolah, IPM masih sangat rendah, kesenjangan ekonomi, mutu pendidikan, ibu hamil tanpa susu dan vitamin, imprastruktur dasar, standar pelayanan minimal dst. Adalah urutan masalah yang sungguh-sungguh memerlukan langkah bersama. Oleh para pihak, pada semua level pemerintah dan level non pemerintah.
Tanpa itu, maka semua yang telah, sedang dan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, baik pemda Sulbar juga dengan level pemda kabupaten, masalahnya akan terus tidak fokus, serta berserakan.
Dimensi yang ditetapkan sebagai mana teori carllton yang dipakai oleh Arsal Aras untuk membentuk tindakan kolektif di daerah, merupakan petunjuk yang jelas. Dan petunjuk tersebut bukanlah hal yang rumit untuk dilaksanakan. Itu bila terdapat kemauan, kesiapan dan kesadaran bersama terutama di level pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Semoga !.