Stigma negatif masih menjadi perangko melekat bagi narapidana maupun mantan narapidana, apapun jenis kasus yang menjeratnya. Tak sedikit, label demikian yang kemudian membuat ‘trauma batin’ para warga binaan, bahkan di kondisi mereka pun sudah menghirup udara bebas.
Imbasnya, sebagian dari mereka kemudian merasa enggan untuk kembali berbaur, bahkan dengan sanak keluarganya sendiri. Mirisnya, diluar sana, juga masih saja perlakuan yang terkesan ‘diskriminasi’ mereka jumpai dalam upaya memperbaiki diri, sebut saja sulitnya mencari pekerjaan, bahkan telah bekerja sekalipun.
Kondisi inilah yang kemudian ingin direkonstruksi Achmad Nur dan kawan-kawan, perintis Garis Hitam Project di Mamuju, Sulawesi Barat, yang gigih berjuang mengembalikan hak kesetaraan para kaum minoritas, terkhusus narapidana dan mantan narapidana perempuan.
Bak pesulap, saat ini Achmad dan rekannya di Garis Hitam Project, perlahan namun pasti, berhasil mengikis stigma itu dengan mengubah warga binaan menjadi pelaku wirausaha yang produktif.
“Mereka punya hak kesetaraan dan kesempatan untuk kembali ke masyarakat, dan kita harus punya kesadaran untuk menerima,”ucap Achmad Nur, selaku Founder Garis Hitam Project.
Rabu siang (13/9/2023), Achmad Nur membagi kisah inspiratifnya itu melalui rapat daring via Zoom Bersama puluhan jurnalis Sulbar, yang difasilitasi Penakita sebagai perpanjangan tangan Astra dalam Lomba Anugrah Pewarta 2023 tahun ini.
Bagian demi bagian, Achmad pun kemudian mengurai dengan rinci, cikal bakal berdirinya Garis Hitam Project, inisiasi, gerakan, hingga cerita aksi nyata mereka bersama warga binaan di balik jeruji, dengan misinya memanusiakan manusia.
Berdirinya Garis Hitam Project
Awal mula Garis Hitam Project terbentuk kata Achmad, beranjak dari kepedulian membantu warga binaan yang ada di lapas, untuk menepis stigma seperti yang terurai di atas. Hal itu lahir saat beberapakali Achmad dan rekannya berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan berinteraksi langsung dengan para warga binaan.
“Saat di Lapas, kami liat ada ruang kosong yang kami bisa terlibat dalam melakukan pembinaan. Kami memiliki semacam awarnes, kayaknya kita harus berbuat lebih, olehnya itu kami bentuk komunitas yang peduli tentang issu ini sejak awal,”ungkap Achmad.
Berangkat dari sana, Achmad dan ke tiga rekannya kala itu, Muhammad Rivai Sahida, Muhammad Ariefsan dan Ulfa Purnamasari, akhirnya merumuskan dan membentuk Garis Hitam Project di penghujung tahun 2019, sebagai komunitas sosial yang benar-benar peduli terhadap kondisi demikian.
“Jujur awalnya kami bingung untuk generate nama, hingga kami putuskan Garis Hitam Project dengan filosofinya bahwa semua orang pada dasarnya tidak ada yang sempurna, punya kesalahan, mereka bersalah di mata hukum, semua orang punya garis hitam. Namun berhak untuk kembali mendapatkan kesetaraan di masyarakat,”tambahnya.
Meskipun dengan keterbatasan personal waktu itu, Garis Hitam Project cukup mampu menarik perhatian pihak lapas untuk dijadikan partner pembinaan. Mereka pun mulai bergerak mengisi materi pelatihan dan bimbingan dari lapas ke lapas.
Setelah terbentuk, jam terbang gerakan Garis Hitam Project sebagai komunitas masih biasa saja. Hingga akhirnya, komunitas ini secara resmi di launching pada saat pelaksanaan Festival Inklusi di Mamuju tahun 2020, dan menyempurnakan diri sebagai komunitas berbadan hukum di tahun 2021.
Berdayakan Warga Binaan
Tak ada tantangan berarti bagi Garis Hitam Project di awal mereka mulai berbaur dengan warga binaan. Bahkan Achmad dan rekannya waktu itu, mengaku kaget melihat situasi ‘Penjara’ dan penghuninya tidak se-seram cerita dan tayangan di film-film. Justru mereka diterima oleh warga binaan dengan hangat dan penuh suasana kekeluargaan.
“Cerita uniknya itu, setelah saya masuk ternyata lapas tidak seseram itu, justru kekeluargaan tumbuh dan teratur didalam. Kami justru diperlakukan seperti anaknya sendiri. Mungkin juga faktor segerombolan anak muda (kami) tiba-tiba datang, dan mereka kan lama tidak bertemu dengan anaknya atau keluarganya, mungkin kami ini semacam pengobat rindu, sungguh lingkungan itu sangat-sangat hangat,”tutur Achmad.
Dengan modal kehangatan dan suasana kekeluargaan itu, pembinaan dan pendampingan semakin intens dilakukan Garis Hitam Project untuk membantu mengangkat dan merebut kembali hak kesetaraan para warga binaan.
Tak hanya pemberdayaan, Garis Hitam Project juga memformulasikan pendampingan secara psikologi bagi napi, untuk memastikan yang bersangkutan benar-benar siap beradaptasi kembali dengan lingkungannya setelah menjalani masa hukumannya (bebas).
“kami diperhadapkan dengan warga binaan yang strata sosial berbeda-beda, hukum dilanggar berbeda-beda, tentunya treatmennya kembali ke personalnya untuk kita sesuaikan dengan kepribadiannya. Kami tidak melangkahi garis privasi teman-teman narapidana, olehnya warga binaan secara psikologis belum siap misalnya, kami matangkan melalui pendampingan psikolog,”terangnya.
Angin segar sepertinya mengiringi gerakan mulia ‘Garis Hitam Project’ yang digagas Achmad itu. Rentetan gerakan pembinaan dan pendampingan itulah yang kemudian membuat Garis Hitam Project mendapat kepercayaan dari berbagai pihak, salah satunya sebut Achmad, Kemenkum-HAM Sulbar, hingga meneken MoU dengan sejumlah lapas.
“Dari awal itu kami dilirik teman-teman pengelola Lapas, hingga akhirnya kami bermitra. Ada banyak sebenarnya mitra kami, ada yang sampai saat ini masih bekerjasama, dan sebagian hanya sebatas short partner, itu diantaranya Pemprov Sulbar, BINUS University, Kedutaan Amerika, Radiant Life Excursions, Berdaya Bareng, GEMA Difabel. Saat ini memang fokusnya kami di lapas Perempuan kelas III Mamuju, mayoritas kegiatan kami di adakan di lapas itu,”paparnya.
Achmad dan kawan-kawan kemudian bergerak lebih giat lagi dengan mengembangkan metode pembinaan yang lebih inovatif, seperti mendorong potensi warga binaan untuk membangun kewirausahaan secara mandiri dari dalam lapas.
Hasilnya, berbagai produk wirausaha berupa kerajinan tangan pun berhasil dibuat para warga binaan, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Kelas III Mamuju, yang menjadi locus pemberdayaan Garis Hitam Project. Sama halnya dengan narapidana perempuan yang telah menghirup udara bebas, diakui Ahmad, mereka juga terbilang produktif memproduksi kerajinan tangan serupa.
“Bayangkan berapa banyak napi dan mantan napi dengan status nonjob?. Jadi gerakan ini juga sebagai komitmen kami membantu teman-teman untuk siap bekerja kembali, konkritnya menyediakan lapangan pekerjaan, disamping outputnya kita harap juga mampu membantu pemerintah menurunkan angka pengangguran,”ucapnya.
Terjual Hingga ke Mancanegara
Penutup makanan saji yang sebutan tradisionalnya di Mamuju dinamai ‘Bosara’, Masker Kain, Tas Rajut, Sarung, Gantungan Kunci, Kue hingga ToteBag, menjadi daftar produk yang mampu dihasilkan oleh para warga binaan dan eks napi perempuan itu. Dibawah binaan Garis Hitam Project, produk-produk tersebut kemudian di pasarkan.
Kerajinan tangan hasil kreasi warga binaan itu cukup mendapat respon dari sejumlah kalangan. Event pameran UMKM di Mamuju misalnya, menjadi ladang promosi bagi Garis Hitam Project memasarkan produk itu, selain tentunya dipasarkan lewat media sosial Instagram.
“Setelah teman-teman membuat kerajinan tangan, kami kemudian membantu untuk memasarkan produk mereka itu, dan keuntungan dari produk yang terjual, dipakai kembali untuk pemberdayaan,”ungkapnya.
Tak cukup disitu, kedatangan mahasiswa internasional asal Amerika lewat fasilitasi Radiant Life Excursions, membuka peluang bagi Garis Hitam Project untuk memasarkan produk kerajinan tangan warga binaan lebih luas lagi, dengan target mencoba pangsa pasar menembus skala internasional.
Benar saja, para mahasiswa dari negeri Paman Sam yang mengunjungi dan melihat langsung pembuatan produk warga binaan LPP Kelas III Mamuju, kagum akan hal itu. Achmad dan rekannya pun memanfaatkan potensi pemasaran itu dengan meminta mahasiswa mempromosikan produk tersebut di negaranya. Hasilnya, sejumlah produk asli hasil racikan ‘tangan halus’ para warga binaan, laku terjual di California dan Los Angles, Amerika Serikat.
“Jadi kami juga ada MoU dengan pengelola wisata internasional, kemarin teman-teman mahasiswa dari USA berkunjung ke Lapas Perempuan Mamuju, disana kita berbagi kehidupan di lapas, dan melihat pembuatan produk. Feedbacknya itu kita minta produk ini di promosikan teman-teman tourism dan mahasiswa, kami pasarkan lewat jalur itu, dan berhasil terjual di California dan Los Angles, ya meskipun belum secara resmi melalui jalur ekspor,”pungkas Achmad.
Kedepan kata Ahmad, fokus project terdekatnya untuk memaksimalkan pemasaran produk ini, yakni dengan membangun ‘Home Industry’ sekaligus semacam rumah pajang sebagai wadah untuk produk kerajinan tangan mantan narapidana. Hal itu kata Achmad, nantinya akan memudahkan produk untuk menembus target marketnya.
“Mimpi kami mengarah ke sana, jadi bagaimana kita membuat home industri ini yang nantinya semua teman-teman mantan warga binaan kita libatkan di dalamnya,”harap Achmad.
Sabet Apresiasi
Sejalan dengan itu, Achmad Nur sebagai pelopor gerakan Garis Hitam Project, berhasil menyabet apresiasi dari Astra dalam program SATU Indonesia Award tahun 2021 yang lalu. Ia meraih apresiasi tingkat provinsi itu untuk kategori kewirausahaan.
Apa yang dilakukan oleh Achmad dan rekan-rekannya di Mamuju, sejalan dengan semangat Astra dalam hal mendorong pemuda untuk lebih berani melakukan perubahan yang mampu memberikan dampak positif bagi daerahnya.
Selain itu, Astra pun menjadikan Garis Hitam Project sebagai mitra penyaluran bantuan Astra International kepada para narapidana di Mamuju, hingga pendistribusian bantuan Program Nurani Astra Berbagi Untuk Negeri, yang disalurkan kepada masyarakat terdampak banjir di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, 10 Juli 2022 lalu.
“Setelah Garis Hitam Project mulai berjalan, pada waktu itu saya mencoba ikut SATU Indonesia Award, dan Alhamdulillah Astra memberikan apresiasi. Selanjutnya kami dipercaya menyalurkan bantuan dari Astra ke teman-teman di lapas, dan korban banjir Kalukku. Jadi memang kami juga bergerak di bidang sosial selain pembinaan di dalam lapas,”terang Achmad.
Agenda yang Tersisa
Garis Hitam Project juga memiliki agenda pembangunan ruang inklusif, yakni lingkungan yang terbuka terhadap kelompok minoritas, yang diharapkan mampu menyetarakan hak-hak mantan narapidana, maupun komunitas inklusi lainnya. Bahkan sebenarnya, mereka telah memulai ancang-ancang dengan sukses menggelar Festival Inklusi di Mamuju tahun 2020 lalu.
“Ruang Inklusi bagi kelompok marginal menjadi sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan, itu target terdekat kami. Kita sasar para generasi muda untuk diberi penguatan, sehingga ketika mereka dewasa nanti, terbentuk pola fikir inklusi atau lebih terbuka terhadap kaum marginal atau minoritas, khususnya bagi mantan narapidana,”kata Achmad.
Kedepan kata Achmad, sejatinya Garis Hitam Project tetap mematangkan program untuk membantu mantan warga binaan dengan membuka peluang pekerjaan, serta mempersiapkan mantan warga binaan menjadi pelaku usaha yang mampu mandiri setelah kembali ke masyarakat.
“Kedepan itu kita ingin membentuk mantan narapidana yang mampu mandiri pasca keluar dari lapas. Sekali lagi karena tidak sedikit dari mereka bahkan punya usaha sendiri, namun belum siap menjalankan usahanya setelah bebas, itu yang ingin kita dorong kedepan,”kunci Achmad.
Menemukan Kembali Jati Diri
Imbas positif yang nyata dari program yang dilakukan Garis Hitam Project ini, diutarakan langsung oleh salah satu ‘Lulusan’ Lapas Perempuan Kelas III Mamuju yang identitasnya penulis rahasiakan. Baginya, Garis Hitam Project, benar-benar telah menggembleng pribadinya menjadi lebih baik.
Sejak mengenal dan berinteraksi dengan Garis Hitam Project di dalam lapas, Ia mengaku seperti kembali menemukan jati dirinya. Kala itu, ia merasa lebih produktif dan percaya diri, bahkan setelah dirinya kembali menghirup udara bebas.
“Sebelum kenal Garis Hitam Project, di dalam lapas saya cenderung bosan, tidak ada aktivitas lain, yang ada paling aktivitas ibadah, aktivitas kemandirian itu belum ada. Manfaatnya, ya saya dapat memperluas wawasan dengan mendapatkan ilmu yang positif, Intinya setelah saya keluar dari lapas, semakin banyak manfaat yang saya dapat dari Garis Hitam Project, banyak kesan dan banyak pelajaran,”tuturnya.
Ia pun membenarkan jika suasana kekeluargaan yang penuh kehangatan diantara warga binaan dan team Garis Hitam Project, nyata adanya. Dari kondisi demikian, mereka terdorong dan mampu produktif hingga akhirnya berhasil membuat produk-produk kerajinan tangan.
“Kesan saya sebagai mantan warga binaan dengan Garis Hitam Project, salah satunya itu karena mereka bermasyarakat. Saya yakin teman-teman yang masih di dalam tidak akan bosan, karena mereka mendapatkan ilmu yang baru, yang tadinya malu-malu tampil, sekarang sudah percaya diri, karena memang Garis Hitam Project ini merangkul seperti keluarga. Pendampingan yang saya dapat waktu itu seperti pelatihan kerajinan tangan, saya mampu membuat tas, bisa bikin gantungan kunci, dan juga tambah pandai memasak,”ungkapnya.
Respon yang sama juga hadir dari pihak lapas. Kasubsi Pembinaan Lembaga Pemasyarakata Perempuan Kelas III Mamuju, Surianti menyampaikan, jika kehadiran Garis Hitam Project sangat membantu pihaknya dalam melakukan pembinaan terhadap warga binaan.
Ditambah lagi kata Surianti, Garis Hitam Project mampu mendongkrak potensi para warga binaan untuk berkreasi dan berwirausaha secara mandiri, disamping turut membina warga binaan untuk membangun kembali identitasnya setelah selesai menjalani masa hukuman.
“Saya kira sangat bermanfaat, terutama dari segi pembinaan. Sebenarnya, sebelum berinteraksi dengan Garis Hitam Project, sudah ada pembinaan yang kami lakukan untuk mengembangkan kemampuan setelah bebas. Setelah mereka datang, malah lebih bagus lagi, sebab pembinaan kemandirian dan kesejahteraan lebih meningkat dan terarah. Garis Hitam Project ini sedang berupaya membangun kesetaraan di lingkungan masyarakat, kita sanga dukung dan apresiasi itu, sehingga diharapkan setelah warga binaan bebas dari lapas, itu bisa mandiri tanpa ada diskriminasi pandangan terhadap mereka,”pungkas Surianti.
Dari Achmad dan kawan-kawannya di Garis Hitam Project, kita banyak belajar jika prinsip kesetaraan sosial begitu penting untuk disuarakan. Lewat Garis Hitam Project, asa itu diharap mampu mengembalikan kesetaraan kaum minoritas untuk berdiri di garis yang sama.
Utamanya di Sulbar, kita harapkan lahir pejuang-pejuang kesetaraan yang baru dan lembaga-lembaga serupa dengan Garis Hitam Project, untuk kompak menyuarakan kampanye kesetaraan dengan visi-misi yang sama.(Mursyid Syathir)