Sikapi UU Cipta Kerja, Aliansi KAWAN Gelar Dialog Publik

SULBARONLINE.COM, Kalukku — Reaksi publik terhadap pengesahan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law memang belum berakhir. Di Mamuju, Sulawesi Barat juga demikian.

Setelah melakukan aksi unjuk rasa pada pertengahan Oktober lalu, Aliansi Kalukku Melawan (KAWAN) yang terdiri dari beberapa organisasi kepemudaan ini kembali merespon persoalan tersebut.

Namun, kali ini tidak dalam bentuk aksi demonstrasi. Aliansi KAWAN yang digawangi para pemuda dan mahasiswa asal Kalukku ini justru menggelar dialog publik. Mereka mengangkat tema “Polemik Omnibus Law Baik atau Buruk?”. Dialog publik ini berlangsung di Warkop Nongkrong di Launa Graha Kalukku, Mamuju, Selasa (27/10/20).

Kegiatan tersebut menghadirkan tiga Narasumber, masing-masing; Akademisi dan pekerja Advokasi, Rustam Timbonga, LBH Manakarra dan pegiat lingkungan, Muh. Risal, LBH Mandar Yustisi, Edy Maulana Naro.

Selain pemuda mahasiswa, kegiatan ini juga dihadiri oleh bebebrapa elemen masyarakat, seperti buruh, petani, nelayan dan masyarakat umum lainnya.

Jenderal Lapangan, Aco Wahid mengatakan, bahwa tujuan dari dialog itu adalah sebagai bentuk dan respon terhadap UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang banyak mengundang polemik di tanah air.

“Diadakannya aksi jalanan dan dialog publik sekiranya dapat memberikan pemahaman serta kesadaran masyarakat terkait dampak dari undang-undang ini,” kata Aco Wahid.

Dari ketiga Narasumber dalam dialog ini juga bersepakat bahwa Omnibus Law adalah suatu produk UU yang dalam pembuatannya cacat akan prosedural. Sebab, di dalamnya tidak adanya partisipasi publik, tidak adanya transparansi, akuntabilitas, dan subtansi dalam memahami isi UU.

“Sebagaimana diketahui bahwa omnibus law adalah sistem hukum baru di Indonesia yang penerapannya yakni dengan menggabungkan beberapa undang-undang,” sebut Aco Wahid.

Oleh sebab itu, lanjut dia, Aliansi KAWAN beranggapan ketika UU Cipta lapangan kerja ini diberlakukan, maka dampaknya akan memberikan kerugian terhadap rakyat Indonesia, utamanya bagi buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, serta masyarakat miskin kota.

“Dan yang paling mengerikan lagi dampaknya sekaligus akan berimbas kepada kerusakan dan kehancuran lingkungan,” pungkas Aco. (Mrz).