SULBARONLINE.COM, Mamasa — Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Barat, Sarman Sahudding beberapa tahun ini memang jarang terlihat di Ibukota, Mamuju, Sulawesi Barat.
Rupanya, Ia memilih ‘hijrah’ dari Mamuju ke kampungnya di pegunungan, Mamasa, sejak awal Oktober 2019.
Sarman Sahuding lahir di Sendana, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, 46 tahun lalu. Ia tidak menyerah, meski ia akui, walau tanpa laptop aktifitas menulis masih terus jalan.
“Kan, ada android. Di kampung sejak itu sudah bisa akses internet, walau masih berbayar,” ujarnya.
Sejak bermukim di kampungnya, tepatnya di Sendana, ia aktif bergerak di dunia sosial dan budaya, salah satunya menghidupkan kembali tradisi permainan dan budaya lokal yakni Kalattebak (baling-baling berbahan kayu yang dirajut oleh ahlinya).
Sejak bulan Oktober hingga Maret 2020, Sarman bersama warga kampung telah berhasil menancapkan Kalattebak, baik di tengah persawahan, di ujung-ujung kampung hingga di bukit-bukit dalam jumlah seribuan.
“Saya lupa kalau dalam tas itu ada laptop. Saya keasyikan ke sana ke mari di pegunungan main Kalattebak. Pas turun hujan, tas terendam air, hancur pula laptop di dalamnya, dinda,” canda Sarman di Mamuju, Selasa siang, 27 Desember.
“Sampai sekarang Kalattebak masih tegak berdiri, walau jumlahnya sudah tidak sampai seribuan lagi. Bahkan di Mamuju dan di Makassar ada juga ditancapkan Kalattebak,” katanya.
Ia bersyukur sebab pada HUT Mamasa di 2020 lalu, Pemkab Mamasa menjadikan Kalattebak sebagai salah satu ikon resmi permainan tradisional Rakyat Kabupaten Mamasa, dan ikon tetsebut masuk dalam agenda resmi perlombaan di ajang HUT Mamasa itu.
Sarman pun berdiam hanya di dua tempat, Sendana dan Mambi berbulan-bulan lamanya.
Ia pun menggeliat. Pada Agustus 2020, ia mulai membersihkan lahan kebun milik orangtuanya. Pohon kakao tua dan pohon jati ditebang, sembari itu ia mulai mencari bibit kopi Robusta, yang orang bilang anakan kopi Lampung, Sumatra.
Pandemi
Sejak pekan ketiga Maret 2020, pandemi Covid-19 ditetapkan oleh pemerintah sebagai wabah yang berbahaya, dan sejak itu semua orang “terkunci” di kampungnya masing-masing. Tidak boleh ada yang bisa keluar kampung.
Pada September 2020 itu, mula-mula Sarman tanam kopi sebanyak 250 pohon di dua titik kebunnya di Sendana. Bersamaan dengan itu, ayahnya, Sahuding juga menanam jenis kopi yang sama di kawasan Saluhani sebanyak 100 pohon kopi.
Sejak September hingga Agustus 2021 ia benar-benar “mengunci” diri di kampungnya dengan hampir tiap hari ke kebun kopinya. Sembari itu, ia terus menambah tanaman kopinya.
Waktu terus berjalan. Pada pertengan 2021 jumlah tanamah kopinya sudah mencapai 600 pohon dan sampai saat ini (2022) sudah mencapai 1.000 pohon. “Bapak saya juga menanam terus, dan sekarang beliau sudah punya 500 pohin kopi di Saluhani,” aku Sarman.
Sejak tanaman kopinya mulai berbuah, Sarman bergiat kembali di dunia Jurnalistik dan penulisan buku. “Kan, kopi saya sudah besar dan yang ditanam duluan sudah berbuah dinda. Tinggal sekarang pikir pupuk dan perawatannya. Sekali sebulan saya ke kampung kerja full di kebun kopiku dinda,” ujarnya.
Ia mengaku, sekarang sudah tidak beli kopi. “Saya minum kopi sejak pertengahan 2022 hasil kopi yang ditanam sendiri. Walau jumlah literan masih dihitung jari. InsyaAllah tahun 2023 nanti kami sudah bisa menjual biji kopi, dinda. Doakan.”
Sarman Sahuding juga masih tetap aktif di PWI selaku Sekretaris PWI Sulawesi Barat. Baru-baru ini ia mengikuti dua agenda penting PWI Pusat, yakni Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) PWI selama dua hari, 21-22 November di Kota Malang, dan Porwanas 2022 selama sepekan di Kota Malang, Jawa Timur.