SULBARONLINE.COM, Mamuju – Ritual Adat Masossor Manurung atau pencucian keris pusaka kembali digelar lembaga Adat Mamuju yang dipusatkan di Rumah Adat Mamuju, Kamis Pagi, (13/7/23).
Ritual Masossor Manurung digelar oleh Pemerintah Kabupaten Mamuju, dihadiri Bupati Mamuju Siti Sutinah Suhardi, Raja Mamuju Andi Bau Akram Dai dan Permaisuri, Perangkat Adat Gala’gar Pitu, Kerukunan Masyarakat Bali, Ketua Kerukunan Keluarga Mamuju Kota Bontang, Tokoh Masyarakat serta Forkopimda Mamuju.
Dalam kesempatannya saat memberikan sambutan, Raja Maradika Mamuju, Andi Bau Akram Dai menyampaikan Apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Mamuju sehingga ritual tersebut dapat terus digelar.
“Apresiasi dan Terima kasih kepada Pemkab Mamuju dalam hal ini Bupati yang telah memberi ruang ritual adat kepada kami, ini tidak terlepas dengan sinergitas Pemkab dan Lembaga adat,” ucapnya.
Bukan hanya sekedar ritual adat, banyak peninggalan sejarah budaya agar dapat terus dilestarikan dan dipertahankan hingga kini. Khusus Ritual Adat Masossor Manurung kata dia, adalah suatu wadah untuk bertemu, manurung yang kurang lebih 500 tahun lamanya adalah simbol kehidupan yang terus mengakar dalam masyarakat.
“Insya allah ketika budaya selalu kita hidupkan, tanah mamuju akan selalu subur dan aman untuk kita semua, semua ras golongan ada di Mamuju, mari kita membahu-bahu sehingga Mamuju tetap aman dan tentram,” sebutnya.
Untuk diketahui, Keris pusaka yang dibersihkan dalam upacara tersebut berasal dari dua Kerajaan, yakni Kerajaan Mamuju dan Kerajaan Badung, Bali. Rangkaian tradisi tersebut dilakukan setiap dua tahun sekali di Tahun ganjil.
Tradisi pembersihan keris merupakan peninggalan yang diturunkan dari hubungan Kerajaan Mamuju dan Badung, Bali di masa lampau. Pengertian tradisi Mansossor Manurung sendiri berasal dari kata Mansossor yang memiliki arti penyucian atau pembersihan dan Manurung yang berarti benda kerajaan.
Ritual Mansossor Manurung tak hanya dilakukan oleh orang Mamuju, namun juga oleh masyarakat Bali yang tinggal di daerah Mamuju dengan ritual khas dari Bali. Hal tersebut dilatarbelakangi hubungan keduanya yang sudah terjalin pada Tahun 1500 Masehi.
Menurut legenda, pada masa itu seorang putra mahkota Mamuju bernama Pattolawali yang merupakan anak dari Raja Tommejammeng menikahi putri dari Raja Badung, Bali.
Pernikahan pasangan tersebut dikaruniai seorang putra yang memiliki kembaran sebuah keris. Benda yang dianggap sebagai kembaran sang putra tersebut kemudian dinamakan Manurung.
Keris tersebut menjadi sebuah benda penghormatan dan tanda ikatan atas kedua kerjaan. Tak hanya menjadi benda pusaka, keris itu juga memiliki panggilan khusus yaitu Maradika Tammakkana-kana yang berarti raja yang tidak berbicara.
Dalam melakukan pembersihan dari keris pusakanya ada beberapa pihak yang hadir dan memiliki hak untuk ikut melakukan prosesi tersebut.
Pertama adalah kehadiran Maradika atau raja dari Mamuju, selanjutnya adalah kehadiran Gala’ggar Pitu yang merupakan 7 pemangku adat kawasan Kerajaan Mamuju. Tak hanya pihak kerajaan Mamuju pihak dari kerajaan Badung pun kerap hadir dalam acara tersebut.
Tradisi Mansossor Manurung sendiri dipercaya memiliki kesaktian yang dapat memberikan berkat pada masyarakat. Mulanya, tradisi ini dilakukan saat masyarakat Mamuju mengalami masa sulit yaitu kekeringan. Hal tersebut mendorong raja untuk memerintahkan Gala’ggar Pitu agar memandikan dan mensucikan keris pusaka kerajaan.
Setelah melakukan pembersihan, air hasil cuci keris tersebut coba untuk disebar ke kebun, disiram ke sawah dan laut. Penyebaran air tersebut akhirnya meredakan kekeringan yang terjadi pada rakyat setempat.