Meretas Dehumanisasi Melalui “Pappasang Todiolo”

Opini – Ada kegamangan ditengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini, hal itu karena tercerabutnya kita dari akar kebudayaan dan jati diri kita sendiri.

Dengan mudahnya kita menemukan di media sosial upaya saling hujat, merendahkan antara satu dengan yang lain, bahkan tak jarang mereka saling melabeli dengan sebutan nama binatang.

Entah itu motifnya adalah persoalan agama, suku, maupun politik, semua itu adalah fakta yang tak dapat kita elakkan dan disinilah awal lahirnya dehumanisasi.

Kemajuan teknologi tak dapat disangkali sebagai salah penyebab berubahnya kebudayaan kita, efeknya adalah berujung pada lahirnya dehumanisasi melalui pemanfaatan teknologi komunikasi.

Dehumanisasi sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah tindakan menyangkal kemanusiaan terhadap manusia lainnya, atau dengan kata lain upaya menggerus nilai kemanusiaan.

Lahirnya propaganda dehumanis yang kerap kali disebarkan melalui teknologi komunikasi seolah menjadi legitimasi untuk melanggengkan tindakan mengerikan ini. Sayangnya, tak ada upaya untuk melakukan filter terhadap fakta buram ini yang justru dapat melahirkan konflik horizontal.

Pada ruang politik misalnya, kerap kali antar satu pendukung dengan gampangnya melabeli lawan politiknya dengan sebutan binatang, contoh terdekat adalah pada Pilpres kemarin, masih membekas dalam ingatan istilah “Cebong” dan “Kampret” ini sangatlah jauh dari nilai kemanusiaan.

Tak hanya pada ruang politik, hampir disemua segmen termasuk suku pun ikut diseret menjadi lahan tumbuh suburnya proses dehumanisasi, kita dapat melihat lahirnya superioritas kesukuan yang menempatkan suku lainnya menjadi subordinat, turut mewarnai parade dehumanisasi diera saat ini. Hal ini tentu tak bisa kita biarkan berlarut – larut.

Selain Politik dan kesukuan, agama juga kerap kali dijadikan sebagai panggung merendahkan sesama manusia, entah itu hanya kerena perbedaan sudut pandang dalam menafsir teks – teks suci (baca kitab), atupun perbedaan Mazhab dan termasuk perbedaan agama.

Semua potret buram yang menjadi catatan diatas, dibutuhkan upaya kembali menanamkan nilai – nilai luhur yang telah dititipkan oleh para pendahulu kita lewat pesan bijaksana sebagai upaya meretas terjadinya disintegrasi, seperti “Pappasang To Diolo” atau pesan orang dulu cukup menjadi salah satu cara kita membentengi diri dari virus – virus praktek dehumanisasi yang kian menggila diera gital saat ini.

Menyelami Nilai Pappasang Todiolo

Di Sulawesi pada umumnya, terkhusus di Sulawesi Barat ada sikap arif dan bijaksana yang telah diwariskan oleh para pendahulu, lewat Pappasang (pesan) yang dianggap mampu menjadi perekat dalam segmen kehidupan, baik bicara politik, suku maupun agama.

Secara spesifik, di Mamuju kita mengenal dengan istilah “Pappasang To Diolo” yang didalamnya ada upaya untuk melanggengkan nilai – nilai kemanusiaan, ada pesan moral yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menapaki perjalanan dalam setiap ruang kehidupan di alam semesta ini.

Salah satu pesan para leluhur orang Mamuju yang masih membekas diantaranya ” Tennaq diangki ada’na namangalli tau nyama macoa mako dipadanta rupatau, nanaallipa to Mamuju”. Ini dapat dimaknai secara sederhana yakni sekiranya ada adat kebiasaan membeli perbuatan baik kepada sesama manusia, maka orang Mamuju akan membelinya.

Betapa dalam makna dari pappasang diatas, dimana sikap moralitas yang tak dapat dipertukarkan dengan rupiah menjadi perhatian secara khusus bagi orang Mamuju. Ia merupakan refresentasi dari nilai budaya orang Mamuju yang mengatur suatu individu dalam berprilaku antar sesama manusia.

Selain itu, pesan tersebut mengisyaratkan betapa pentingnya sikap baik pada sesama manusia, sehingga falsafah ini semestinya mengkristal pada diri generasi ditengah perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini.

Betapa para leluhur kita menempatkan sikap moralitas pada level tinggi dalam menciptakan tatanan kehidupan, hingga melalui nilai – nilai pappasang, cukup menjadi cermin bagi kita saat ini bahwa para orang tua dulu begitu tulus dalam membangun rasa persaudaraan dan menempatkan manusia sebagaimana mestinya, bukan justru merendahkan dengan istilah Cebong dan kampret.

Hal lain yang saat ini penting untuk kita telaah secara kritis adalah penggunaan teknologi digital secara tidak sadar juga menjadi salah satu penyebab terjadinya dehumanisasi terkhusus dikalangan generasi muda.

Sikap individualisme, rasa empati dan kepedulian kepada sesama kian menipis, pola komunikasi pun lebih banyak dimediasi melalui media sosial, hingga ketulusan dalam berkomunikasi kini mulai berkurang. Ini diperparah saat kaum muda tanpa kontrol menggunakan teknologi untuk menyebarkan kebencian, sikap intoleransi serta informasi hoax. Sehingga ditengah gempuran kemajuan teknologi saat ini dibutuhkan nilai – nilai kebudayaan yang begitu humanis yang dapat diyakini sebagai upaya melakukan filter terhadap upaya tumbuh suburnya dehumanisasi.

Munculnya hoax dampaknya begitu signifikan, hal ini dikarenakan adanya sentuhan teknologi seperti melalui media sosial, Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp dan lainnya dapat menyebar secara meluas di masyarakat.

Belum lagi hoax dengan mudahnya menyebar hanya karena adanya upaya memanipulasi bahasa melalui tulisan, seseorang dengan sengaja mempengaruhi alam pemikiran melalui tulisan di media sosial hingga dengan dapat menciptakan propaganda meskipun berangkat dari kebohongan.

Bagi orang dulu, komitmen menolak segala bentuk kebohongan baik melalui tulisan maupun lisan itu tercermin dalam pesan Arif dan bijaksana seperti “Katutui kana – kanangmu dipadangmu rupatau, pasituru’ kedomu” (hati – hatilah dalam bertutur kata termasuk sikap pada sesama manusia)

Pesan tersebut cukup mencerminkan bahwa betapa humanisnya para orang tua dulu, baik dalam bertutur maupun bersikap antar sesama manusia hingga lahirlah falsafah terkhusus di Sulbar yakni malaqbi Pau dan malaqbi kedo (mulia dalam ucapan dan mulia dalam tindakan).

Petuah lain yang dapat kita lihat seperti “Punna muinungmo wai randanna to Mamuju, To Mamuju Moko Ittu” dimana ini mengisyaratkan betapa terbukanya masyarakat Mamuju kepada suku lain, hingga ia menepatkan rasa persaudaraan tanpa kemudian harus saling merendahkan antar satu dengan yang lain.

Pada akhirnya, catatan sederhana ini cukup memantik kita untuk kembali menggali akar kebudayaan yang telah lama tercerabut, hingga kita seolah kehilangan jati diri dan begitu mudah merendahkan sesama manusia.

Penting mengikuti arus perkembangan teknologi, namun semestinya tidak melupakan identitas kebudayaan seperti melalui Pappasang Todiolo (berupa petuah) sebagai filter atas menggilanya dehumanisasi.

Mamuju, 21 Januari 2020.

Penulis: Adhi Riadi