OLEH: IKA NINGTYAS
“Disahkannya revisi KUHP 6 Desember 2022 lalu menambah deretan kebijakan publik yang mengungkung kebebasan sipil di ruang digital.”
MESKI bukan fenomena baru, hoaks memang menjadi masalah krusial dan berdampak serius bagi publik di era digital. Masifnya hoaks di Indonesia muncul seiring momentum politik seperti Pemilu 2014, Pilgub Jakarta 2017, dan Pemilu 2019. Selama pandemi Covid-19, hoaks atau dikenal dengan infodemi juga telah berdampak pada kesehatan publik. Namun penanganan hoaks yang mengesampingkan perlindungan hak asasi manusia, justru dapat menjadi alat bagi kekuasaan untuk memberangus kebebasan berekspresi.
Pemerintah Indonesia telah memproduksi pelbagai kebijakan yang mengatur ruang digital. Namun tren dalam empat tahun menunjukkan, berbagai kebijakan itu begitu mudah disalahgunakan sebagai alat untuk meredam kritik. Tren serupa juga terjadi di empat negara di Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar, Thailand, Vietnam dan Kamboja, sebagaimana ditunjukkan oleh riset Janjira Sombatpoonsiri and Dien Nguyen An Luong (2022) dari ISEAS – Yusof Ishak Institute.
Dalam riset tersebut terdapat empat pola yang dijalankan pemerintah negara-negara di Asia Tenggara untuk mengontrol ruang digital sebagai dalih memerangi hoaks yakni mempidanakan pengguna internet, menekan platform media sosial untuk memblokir dan menghapus konten, memperluas pemantauan media sosial hingga mematikan internet (internet shutdown). Penulis menemukan bahwa empat pola itu juga dijalankan di Indonesia yang turut berkontribusi pada penyempitan ruang kebebasan digital.
Pertama dari aspek pemidanaan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember lalu, memuat ketentuan tentang berita atau pemberitahuan bohong. Pasal 263 ayat (1) dalam KUHP teranyar itu berbunyi: Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V. Sedangkan pada ayat (2), jika berita atau pemberitahuan itu diduga bohong dipidana dengan penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Ketentuan itu memuat rumusan definisi yang tidak jelas terkait berita bohong atau diduga bohong yang mengakibatkan kerusuhan. Dengan menyebutkan kata “berita” secara spesifik membuat pasal ini akan mudah menjerat karya jurnalistik dan ekspresi yang sah seperti yang terjadi sebelumnya.
Aturan tentang hoaks dalam KUHP itu adalah turunan dari UU 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, khususnya dari Pasal 14 dan 15. Pasal ini pernah digunakan Polda Sulawesi Tenggara untuk menjerat jurnalis Timurterkini.com, Muhammad Irvan S pada 9 Mei 2022 lalu, setelah ia menulis tentang dugaan pelanggaran pajak oleh pengusaha lokal.
Selain undang-undang tersebut, orang yang dianggap menyebarkan hoaks juga dijerat dengan pasal-pasal ‘karet’ di UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), seperti pasal defamasi (27 ayat 3), pasal berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen (28 ayat 1) dan pasal ujaran kebencian (28 ayat 2). Ada juga yang menggunakan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Rasial.
Namun alih-alih menyelesaikan masalah hoaks, pasal-pasal tersebut telah digunakan untuk mengkriminalisasi warga biasa hingga pembela hak asasi manusia. SAFEnet dalam Laporan Situasi Hak-hak Digital (2020) menyebutkan, sepanjang 2020 di tengah pandemi Covid-19 pemidanaan terhadap warganet terjadi sebanyak 84 kasus, meningkat hampir empat kali lipat dari dari tahun sebelumnya 24 kasus. Dari jumlah tersebut, terdapat 12 kasus yang dijerat dengan Pasal 28 ayat 1 UU ITE tentang kabar bohong konsumen, serta 21 kasus menggunakan Pasal 14 dan 15 di UU 1 Tahun 1946.
Dalam praktiknya, penggunaan pasal-pasal tersebut tidak jelas. Pasal 28 ayat 1 UU ITE, sebenarnya hanya mengatur berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Namun polisi menggunakannya untuk menjerat warga yang mengunggah informasi yang tidak menyebabkan kerugian konsumsen. Seperti yang dialami SB, seorang warga Lombok yang ditangkap dengan pasal tersebut, setelah mengunggah informasi di Facebook tentang tiga orang yang terkena Covid. SB menerima informasi itu dari pesan berantai di Whatsappdan berniat agar masyarakat di sekitarnya berhati-hati serta mewaspadai virus tersebut.
Di kasus yang mirip, polisi menjerat AC, warga Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dengan Pasal 14 UU 1 Tahun 1946, setelah ia menyebarkan informasi tentang larangan agar tak datang ke Kota Malang karena masuk zona hitam Covid-19. Padahal ketentuan pasal tersebut mengatur tentang berita atau pemberitahuan bohong yang menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Tidak jelas bagaimana polisi mendefisinisikan keonaran dan bagaimana mengaitkan terjadinya keonaran dengan unggahan AC.
Sederet contoh lain tampak jelas dalih memerangi hoaks digunakan untuk menargetkan para aktivis. Pada September 2019 misalnya, cuitan jurnalis cum aktivis, Dandy Laksono tentang korban kerusuhan di Wamena dan Jayapura selama aksi antirasisme, ditandai sebagai hoaks oleh akun-akun pasukan siber pro-pemerintah, dan dianggap sebagai pemicu kerusuhan. Meski isi cuitan Dandhy terkonfirmasi dengan keterangan Kepala Dinas Kesehatan Papua, polisi menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka dengan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) UU ITE tentang penyebaran ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok berdasarkan SARA.
Sebelum kasus Dandhy, pengacara hak asasi manusia, Veronica Koman juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur setelah menerbitkan beberapa informasi lewat akun Twitter tentang persekusi dan ujaran rasisme kepada penghuni Asrama Mahasiswa Papua, di Surabaya, pada 16 Agustus 2019. Polisi melabeli cuitan-cuitan tersebut sebagai hoaks, lalu menjerat Vero dengan empat pasal berlapis: UU ITE, Pasal 160 KUHP, UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 40 Tahun 2008.
Kriminalisasi pada peneliti kebijakan publik dan pegiat demokrasi, Ravio Patra pada 2020 bahkan lebih tak masuk akal. Mula-mula, Ravio kehilangan akses terhadap akun Whatsappnya karena diretas. Selama dikuasai pihak lain, muncul pesan berantai dari nomor tersebut berisi ajakan untuk menjarah dan membakar. Pesan palsu itu justru dipakai polisi untuk menangkap Ravio dengan tuduhan menyiarkan berita palsu yang menimbulkan keonaran. Sementara, siapa dalang di balik peretasan dan penyebaran informasi palsu itu, tidak pernah diselidiki, apalagi diadili.
Dalih hoaks juga digunakan untuk membungkam sejumlah aktivis yang menyuarakan kritik pada Omnibus Law atau UU Cipta Kerja pada tahun 2020. Salah satunya menimpa pemilik akun Twitter berinisial V yang ditangkap polisi setelah membagikan poster digital berisi 12 poin pasal UU Ciptaker yang mengancam hak-hak buruh. Setelah viral, V ditangkap polisi dan unggahan tersebut diturunkan karena dicap hoaks.
Kedua, praktik pemidanaan tersebut diikuti dengan menguatnya pemantauan di media sosial. Praktik ini terlihat saat Kapolri menerbitkan dua telegram kepada jajaran di bawahnya yakni pada 4 April 2020 dan 2 Oktober 2020.
Dalam telegram pertama, Kapolri menginstruksikan agar jajarannya melaksanakan patroli siber untuk memantau situasi berita opini, dengan sasaran hoaks COVID-19. Polisi juga menargetkan hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam menangani wabah virus corona, serta penghinaan terhadap penguasa atau presiden dan pejabat pemerintah. Adapun surat telegram Kapolri kedua bertujuan mencegah penyebaran berita hoaks terkait omnibus law RUU Cipta Kerja.
Upaya memata-matai ruang digital juga ditunjukkan dengan pembentukan polisi siber atau polisi virtual oleh Badan Reserse Kriminal atau Bareskrim Polri pada 25 Februari 2021. Tim polisi virtual bertugas melakukan patroli siber di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram serta WhatsApp untuk mengawasi akun-akun yang terindikasi mengandung konten hoaks dan hasutan di berbagai platform tersebut.
Pembentukan polisi virtual ini tak hanya memata-matai konten dari warganet, tetapi juga makin eksesif dengan menyasar produk jurnalistik dari media kredibel yang telah melalui verifikasi. Sepanjang 2021 misalnya, AJI Indonesia mencatat empat karya jurnalistik yang dilabeli hoaks oleh kepolisian, yakni berita Kompas.id berjudul Kehabisan Oksigen, 63 Pasien di RSUP DR. Sardjito Meninggal dalam Sehari pada 4 Juli 2021; laporan ProjectMultatuli.org pada 7 Oktober 2021 berjudul, Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan. Berikutnya, polisi juga memberikan label hoaks pada pemberitaan Republika.co.id dan Kabar6.com berjudul “Didemo Mahasiswa, Kapolresta Tangerang Siap Mundur” pada 16 Oktober 2021.
Selain Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga telah membentuk Tim Pengais Konten Negatif (AIS) sejak 2018 untuk berpatroli mengawasi konten negatif di media sosial. Tim tersebut berisi 106 orang yang bekerja 24 jam non-stop.
Ketiga, melalui Peraturan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat (PSE), menjadi landasan bagi pemerintah untuk memaksa platform media sosial untuk memblokir dan menghapus konten termasuk hoaks.
Permenkominfo 5 ini di antaranya berisi kriteria konten yang dilarang yakni muatan yang menyalahi undang-undang, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Masyarakat, kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum serta pengadilan, berhak meminta pemutusan akses terhadap konten yang melanggar. Bagi pengelola sistem eletronik privat yang mendapat permintaan pemutusan akses, harus menurunkan konten dalam waktu yang terbatas, antara 4-24 jam.
Regulasi tersebut banyak dikritik karena lenturnya kriteria muatan yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Aturan itu berpotensi menjadi pintu baru untuk menargetkan konten kritis dan karya jurnalistik yang dilabeli hoaks.
Keempat, kebijakan mematikan internet pernah dilakukan pada Agustus 2019, saat Pemerintah memutus internet di Papua dan Papua Barat selama unjuk rasa antirasisme dengan dalih untuk mencegah penyebaran hoaks. Pejabat Kominfo menyatakan bahwa kerusuhan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat pecah karena dipicu foto dan satu video yang tersebar di media sosial dan aplikasi pesan WhatsApp.
Organisasi masyarakat sipil menggugat kebijakan mematikan internet tersebut ke PTUN Jakarta. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemudian memutuskan bahwa kebijakan tersebut melanggar undang-undang. Faktanya, kebijakan memutus internet justru membatasi kebebasan berekspresi dan hak publik mendapatkan informasi. Pers juga kesulitan melakukan verifikasi terhadap informasi yang diduga bohong.
Penanganan hoaks harus memperhatikan standar HAM
Salah satu masalah utama dalam penanganan hoaks adalah tidak ada definisi dan klasifikasi yang jelas dalam berbagai regulasi di Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoaks memang didefinisikan sebagai informasi bohong. Namun lanskap klasifikasi hoaks sendiri cukup beragam dan kompleks. Regulator harus memisahkan antara pembuat dan penyebar serta motif di balik hoaks. Dari sisi motif dikenal perbedaan antara misinformasi (informasi salah yang tidak menyebabkan kerugian) dan disinformasi (informasi salah dan sengaja dibuat untuk merugikan seseorang, kelompok sosial, organisasi atau negara).
Longgarnya batasan ini menjadi masalah utama yang kemudian mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat mereka yang melontarkan kritik kebijakan, opini yang berbeda dengan agenda negara, atau pun menargetkan warga biasa yang ikut menyebarkan hoaks karena tak memiliki akses atau pengetahuan untuk memeriksa kebenaran informasi tersebut.
Untuk menetapkan definisi dan klasifikasi yang ketat tersebut, membutuhkan pelibatan yang bermakna dari organisasi masyarakat sipil dan melalui kajian akademik yang independen. Sayangnya produk regulasi seperti UU ITE, Permenkominfo, dan KUHP terbaru mengabaikan partisipasi publik yang bermakna.
Selain definisi, masalah berikutnya adalah menyangkut nihilnya mekanisme yang transparan untuk menilai informasi tertentu sebagai hoaks serta tidak adanya lembaga independen yang terlibat dalam mekanisme ini. Penilaian konten hoaks secara sepihak oleh institusi pemerintah, utamanya oleh institusi kepolisian, menimbulkan konflik kepentingan dan mudah disetir untuk memuluskan agenda politik tertentu.
Hal ini juga berdampak pada penegakan hukum yang tebang pilih. Misalnya, kepolisian RI tidak pernah menyelidiki jaringan di balik kampanye terorganisir dan berbiaya miliaran rupiah untuk memanipulasi informasi di internet tentang Papua, meski investigasi mengenai hal ini pernah dipublikasikan oleh BBC dan Australian Strategic Policy Institute (ASPI) pada 2019.
Selain itu, pendekatan pidana atas hoaks bukanlah solusi yang efektif. Hal ini mengingat bahwa hoaks menyebar bukan karena faktor tunggal, namun terkait dengan literasi digital yang rendah, algoritme media sosial yang mengabaikan prinsip HAM, ideologi atau fanatisme terhadap orang atau kelompok tertentu, akses informasi yang terbatas serta kepentingan untuk mencari keuntungan secara finansial maupun tujuan politik tertentu.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebenarnya telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Dalam kasus hukum berkaitan dengan berita palsu, SNP tersebut memberikan standar untuk mempertimbangkan kerugian objektif yang harus terhubung dengan pertanggungjawaban yang melekat pada bagian informasi tertentu. Bahkan bila melibatkan kejahatan yang terorganisir, sebagaimana munculnya industri hoaks maupun buzzers, maka negara harus hadir untuk mendorong pertanggungjawaban yang sesuai dengan standar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pertimbangan juga mencakup keharusan memastikan bahwa pendekatan penegakan hukum sejalan dengan hukum dan standar HAM internasional. Pendekatan ini memberikan mekanisme hukum yang adil untuk membela diri atau komplain atas tindakan hukum aparat penegak hukum. Institusi hukum haruslah mencerminkan prinsip independensi, memiliki kapasitas atau wewenang, kepastian batas waktu yang layak, serta dilakukan sebelum berproses lebih jauh melalui mekanisme peradilan.
Dengan kecenderungan penyalahgunaan regulasi untuk kepentingan kekuasaan, oleh karena itu strategi yang musti dimaksimalkan untuk menangani hoaks adalah dengan memperkuat pemberdayaan warga dalam literasi informasi dan berita agar mereka dapat memverifikasi, memilah, dan menggunakan informasi yang kredibel untuk mengambil keputusan.
Upaya tersebut juga harus diimbangi dengan mendesakkan perbaikan dan transparansi dalam moderasi konten oleh platform media sosial, serta memperkuat upaya pemeriksaan fakta oleh organisasi media yang kredibel.(Remotivi).