SULBARONLINE.COM, Mamuju — Sekretaris Daerah Provonsi Sulbar, Muhammad Idris membuka secara resmi Training Apoteker Tanggap Bencana (ATB), di Aula Gedung UPTD Dinas Pertanian Sulbar, Lombang-Lombang, KelurahanSinyonyoi, Kecamatn Kalukku, Sabtu 10 April 2021.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia Sulbar tersebut, mengusung tema ‘Apoteker Siap Membantu Masyarakat’.
Dalam sambutannya, Sekprov Sulbar Muhammad Idris mengatakan, atas nama Pemprov Sulbar menyampaikan apresiasi kepada para Apoteker Indonesia Sulbar atas inisiasinya menyelenggarakan pelatihan tersebut.
“Keberadaan kita di sini untuk memberikan koreksi terstruktur terhadap kesiapan SDM di setiap kebencanaan,” ucap Idris.
Idris menuturkan, tangguh bencana ada pada level kemandirian masyarakat, bukan hebatnya pemerintah untuk menangani. Oleh karena itu dibutuhkan pendidikan mengenai kebencanaan.
“Bagaimana para apoteker itu memahami lebih jauh aspek kebencanaan dan sesudah itu mendesiminasi menggunakan pengetahuannya untuk kebutuhan masyarakat kita,” kata Idris
Olehnya itu, Idris menegaskan, tidak boleh berhenti dan semangat terus untuk menjadikan Apoteker sebagai garda terdepan penanggulangan, pencegahan bahkan penanganan bencana.
“Hal itu menjadi sangat penting untuk dihasilkan bersama di Sulbar,” tandasnya.
Lebih lanjut Idris menyampaikan, dalam indeks risiko bencana yang dikeluarkan oleh BNPB, Sulbar adalah termasuk daerah rawan bencana.
“Dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia, Sulbar masuk urutan kedua rawan bencana dan juga salah satu kabupaten dari 528 kabupaten/kota di Indonesia, Majene masuk urutan kedua di Indonesia dari indeks risiko bencana,” ungkap Idris
Artinya, lanjut dia, indeks risiko bencana itu disusun oleh empat elemen.
“Pertama, mohon maaf rata-rata masyarakatnya itu tidak peduli mengenai kebencanaan. Kedua, ketersediaan pemerintah tanda kutip ya di semua level itu kira-kira level profesional penangannya tergolong rawan tidak memiliki ketanggapan yang bagus. Ketiga, yang membentuk indeks itu tinggi adalah gabungan antara ketidaktersediaan SDM dengan infrastruktur penyelamatan, misalnya kampung-kampung kecil itu harusnya ada satu keluruhan mekanisme penyelamatan, dan keempat, yang paling membentuk indeks kita agak rendah adalah alokasi pembiayaan,” jelasnya.