FPPI Mamuju, Jatam dan Koalisi Masyarakat Majene Minta Hentikan Aktivitas Pertambangan di Sulbar

SULBARONLINE.COM, Mamuju – Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Mamuju, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional dan Koalisi Masyarakat Majene bergerak mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Sulawesi  agar melakukan langkah tegas terhadap perusahaan tambang.

Puluhan massa aksi tersebut mendatangi kompleks perkantoran Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat  bertepatan di momentum Hari Anti Tambang (Hatam), Senin (29/5/23).

Mereka memberi penegasan dan menuntut tiga poin diantaranya, Moratorium pemberian izin tambang dan menghentikan seluruh aktivitas pertambangan, menindak tegas perusahaan tambang tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), menghentikan pembabatan Hutan Bonehau untuk Perkebunan Sawit.

“Kemarin Pemerintah Provinsi Sulbar sudah harusnya melakukan moratorium, kenapa? sebab, kita tahu pertambangan mineral batu bara hari ini yang menawarkan Izin adalah pemerintah pusat, tetapi atas dasar rekomendasi dari Pemprov Sulbar,” sebut Koordinator Lapangan Aksi, Farhat Al-Kasman.

Massa aksi menilai ekspansi Industri di Sulbar semakin marak terjadi dan telah menunjukan arogansi, ini ditunjukan dengan tidak melibatkan masyarakat dan memberi izin, dampak kebijakan tersebut rusaknya daya produksi pertambangan, tanpa memperdulikan daya entitas tanah.

“Pemprov Sulbar harus berhenti untuk memberikan izin usaha pertambangan, baik itu mineral, batu bara, atau pun kategori batuan, ini menimbulkan ancaman bagi masyarakat yang tinggal di lingkar tambang,” jelasnya.

Contoh dari kerusakan ini di Desa Tamalea, Kecamatan Bonehau, Mamuju, yang terdapat perusahaan tambang batu bara, dikelola PT Bonehau Prima Coal (BPC) dengan konsesi mencapai 98 Hektare, limbah BPC telah merusak ekosistem sungai.

BPC tidak secara jujur menyampaikan masalah yang diderita warga dalam jangka waktu yang lama, mengeruk dan menghancurkan hutan Desa Tamalea. Ancaman udara, gangguan pernafasan, dan berakibat penyakit Scabies.

“Masyarakat di Desa Tamalea telah di tipu, limbah batu bara dibuang ke sungai, sungai itu merupakan sumber air bersih, khususnya masyarakat Tarailu yang secara otomatis jika sumber air bersih mereka sudah dirampas oleh BPC, maka masyarakat akan mengeluarkan biaya tambahan,” sebutnya.

Tempat lain, di Kabupaten Majene terdapat pertambangan batu gajah yang dikelola oleh PT Putra Bonde Mahatidana, komoditas tambang itu akan disuplai untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Menyoal perusahaan ini, izin ekploitasi perusahaan terbit dengan melakukan manipulasi dokumen.

“Hingga hari ini masyarakat Desa Banua Sendana, masih tetap melakukan perlawanan agar IUP dan PBM segera di cabut,” sebutnya lagi.

Selanjutnya di titik lain, di Kalumpang Kabupaten Mamuju berdiri sebuah perusahaan emas tanpa Izin PT Mega Agro Persada. Izin perusahaan itu di cabut, namun anehnya tetap melakukan aktivitas pertambangan dengan konsesi hutan mencapai 2.000 Hektare. Begitu pun di Kabupaten Pasangkayu berdiri 8 perusahaan kategori batuan.

“Aktivitas pertambangan tetap dilakukan dengan Back Up Aparat kemanan tanpa izin, juga di Pasangkyu memiliki dokumen ilegal,” singkatnya.

Beralih di Kabupaten Polewali Mandar (Polman). Tiga perusahaan dengan konsesi hutan ratusan Hektare, seperti PT Isco Iron luas konsesi 943 Hektare dengan komoditas tambang Bijih Besu, PT Isco Polman Resources 199 Hektare (Timbal), dan PT Inti Karya Polman seluas 776 Hektare komoditas tambang Gelena. Perusaan ini menurut rencana akan beroperasi tahun depan.

“Bisa anda bayangkan, beberapa waktu terakhir Polman seringkjali dilanda banjir skala begitu besar yang tentu memberi kerugian bagi masyarakat, bencaa ekologis senantiasa akan mengancam keselamatan warga di Polman,” ucapnya.