SULBARONLINE.COM, Mateng — Ahli Geologi dan Dosen Teknik Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Tadulako (UNTAD) Palu, Ir. Drs. Abdullah, menyampaikan hasil analisis dan pandangan terkait kondisi sungai di muara Budong-budong, Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng).
Pasalnya, beberapa bulan belakangan ini terjadi pro kontra masyarakat di muara Sungai Budong-budong terkait rencana penambangan pasir oleh PT Yakusa Tolelo Nusantara (YTN).
Berdasarkan rilis yang dikirim ke redaksi SULBARONLINE.COM, Senin (6//1/25), dalam kajian Ahli Geologi Untad Palu, Abdullah menyebutkan, secara fisik, Daerah Aliran Sungai (DAS) Budong-Budong dan badan Sungai Budong-Budong telah mengalami kerusakan. Hal itu dapat dilihat dari beberapa aspek.
Pertama, debit airnya sangat fluktuatif atau tidak stabil. Di musim penghujan, debit airnya besar dan terkadang memicu banjir di bantaran sungai, sedangkan pada saat musim kemarau, debitnya sangat kecil, sehingga pada beberapa bagian sungai dasarnya kelihatan.
Kedua, kandungan sedimen dalam aliran Sungai Budong-Budong cukup tinggi. Hal ini tampak dari air Sungai Budong-Budong yang keruh.
“Keruhnya air Sungai Budong-Budong sekaligus menunjukkan tingginya tingkat erosi di DAS Budong-Budong. Tingkat erosi yang tinggi ini akan membuat dasar sungai, dari waktu ke waktu akan semakin dangkal. Bagian paling parah mengalami pendangkaln adalah bagian muara,” ungkapnya.
Ketiga, tingginya tingkat erosi tersebut mengakibatkan badan Sungai Budong-Budong mengalami pendangkalan yang signifikan. Pendangkalan tersebut membuat badan Sungai Budong-Budong semakin lebar, terutama di sekitar muara sungai.
“Dan pendangkalan di muara bisa membahayakan perahu berukuran besar ketika masuk atau keluar dari Sungai Budong-Budong,” katanya.
Keempat, pantai di sekitarnya juga akan semakin dangkal dan landai. Hal ini akan menyulitkan perahu yang lewat dan juga menyulitkan nelayan saat turun melaut atau ketika menambatkan perahunya.
Kelima, pelebaran Sungai Budong-Budong, karena mengalami pendangkalan, ditandai dengan lahan di sekitar aliran sungai yang semakin terkikis.
“Sudah cukup luas lahan kebun yang hilang di sekitar aliran Sungai Budong-Budong dan berubah menjadi bagian dari badan sungai. Pengikisan tersebut mengakibatkan tumbuhan atau pepohonan yang tumbuh di lahan tersebut akan tumbang dan sejumlah pepohonan lainnya tinggal menunggu waktu untuk menyusul tumbang,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, sudah ada beberapa rumah warga yang rusak atau hilang akibat pelebaran Sungai Budong-Budong dan pengikisan tebing sungainya.
Keenam, sebagian kecil bagian Sungai yang melebar dan tebingnya menjadi terjal, sehingga semakin mudah longsor, telah diatasi dengan bronjong batugamping.
Ketujuh, pendangkalan badan dan muara Sungai Budong-Budong menimbukan masalah di Desa Babana. Yakni, ketika terjadi hujan di DAS Budong-Budong dan bersamaan dengan terjadinya pasang air laut, maka air laut pun naik ke daratan.
“Bahkan air laut masuk ke rumah-rumah warga di RT 1 dan RT 2 Desa Babana. Juga, pasar Desa Babana tergenang air laut. Karena itu, masalah ini bisa diatasi, secara perlahan-lahan, dengan mengeruk badan dan muara sungai tersebut,” urainya.
Kedelapan, ketika terjadi gempa PADAGIMO Sulteng pada 28 September 2018 yang dipicu oleh gempabumi M 7,4 sejumlah perairan mengalami tsunami, termasuk muara Sungai Budong-Budong. Diduga kuat pemicu tsunami tersebut adalah longsor endapan sedimen yang telah tebal di dasar muara sungai tersebut. Peristiwa yang sama jika endapan sedimen menebal lagi dan kemudian terjadi gempabumi.
Karena itu, kata Abdullah, untuk mengatasi kondisi di Sungai Budong-budong, maka harus dilakukan normalisasi Sungai dan Penambangan.
“Umumnya, sungai yang mengalami pendangkalan dinormalisasi. Dalam hal ini, arah alirannya dinormalkan dan dasarnya diperdalam kembali dengan cara dikeruk. Arah alirannya dinormalkan agar sungai tidak mengalami pelebaran. Dasarnya di perdalam agar daya tampung sungai menjadi besar kembali sehingga air sungai tidak meluap ketika debitnya sedang besar,” papar Abdullah.
Menurutnya, ada 2 cara pengerukan dasar sungai, yakni dengan cara penggalian dengan alat berat atau dengan cara disedot menggunakan mesin penghisap.
“Jika dilakukan pengerukan maka semua jenis material di dasar sungai akan terambil, tetapi jika disedot maka yang terambil hanya pasir dan material yang lebih halus,” ujarnya.
Dari kondisi ini, Abdullah dalam kajiannya menyarankan normalisasi Sungai.
Selama ini, kata abdullah, dalam pelaksanaan normalisasi sungai, ada 2 kelompok pelaksananya.
Pertama, Dinas Pekerjaan Umum. Dalam hal ini, Dinas PU bermitra dengan kontraktor pemenang tender.
Umumnya, material yang dikeruk untuk tujuan normalisasi sungai hanya digeser atau ditumpuk di sekitar tepi sungai.
“Tapi akibatnya, ketika terjadi hujan deras atau debit sungai meningkat material tersebut terhambur di dasar sungai dan membuat aliran sungai menjadi tidak normal lagi,” tuturnya.
Kedua, sambung Abdullag, adalag Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam hal ini, Dinas ESDM bermitra dengan pengusaha tambang yang mempunyai izin.
Metode penambangan harus mengikuti prinsip normalisasi sungai.
“Material dasar sungai yang dikeruk atau disedot dikumpulkan sementara di darat untuk selanjutnya diangkut ke daerah lain. Atau, material dasar sungai disedot dan hasil sedotan langsung ke atas kapal pengangkut yang sudah siap pada saat penyedotan dilakukan. Dalam hal ini, tidak ada yang dikeruk atau disedot kemudian hanya digeser atau ditumpuk di sekitar tepi sungai,” terang Abdullah.