SULBARONLINE.COM, Mamuju — Ratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Sulbar menggelar aksi unjuk rasa, Senin (31/5/21).
Ada dua titik atau tempat aksi yang mereka lakukan. Pertama, di rumah jabatan Bupati Mamuju (Sapota). Kedua, di Kantor darurat Gubernur Sulawesi Barat.
Di titik pertama, massa ini ini diterima langsung oleh Bupati Mamuju, Sekretaris Daerah dan Kepala OPD terkait. Mereka melayangkan 7 poin tuntutan dan desakan melalui selebaran kepada Pemerintah Kabupaten Mamuju.
Pertama, mendesak verifikasi data rumah rusak berbasis partisipasi publik. Kedua, terbitkan juknis kriteria rumah rusak baik itu berat, sedang maupun ringan. Ketiga, membuat kanal aduan informasi khusus soal penanggulangan bencaana. Keempat, menolak pembangunan untuk rumah rusak berat di pihak ketigakan. Kelima, melakukann transparansi pengelolaan anggaran bencana. Keenam, memperjelas jaminan hidup untuk wilayah kabupaten Mamuju. Ketujuh, perjelas status kebencanaan Kabupaten Mamuju.
Salah satu koordinator aksi Koalisi Masyarakat Sipil Sulbar, Ibnu Imat Totori mengatakan, validasi data rumah warga sangat penting untuk dilakukan, karena data yang keluar dinilai sangat rancu dan amburadul. Tidak ada proses validasi dari data tersebut, sehingga banyak kekacauan di dalamnya.
“Kami dari Koalisi Masyarakat Sipil beserta masyarakat forum penyintas, mendesak Pemkab Mamuju segera melakukan validasi data rumah terdampak gempa. Mengapa ini penting, karena data yang keluar itu sangat rancu dan amburadul. Ada banyak fakta yang kita temukan itu tidak sesuai dengan data dan fakta di lapangan,” tegas Ibnu Imat Totori.
“Misalnya ada warga yang kondisi rumahnya rubuh, tapi masuk kategori rusak sedang dan rusak ringan. Begitupula ada yang secara kasatmata rumahnya tidak terlalu parah, tetapi masuk kategori berat. Ini memprihatinkan,” tambah pria sapaan akrab Imat ini.
Selain itu, Imat mengaku, warga korban gempa juga mendesak Pemerintah segera menerbitkan Petunjuk Teknis (Juknis) pelaksanaan validasi data tersebut.
“Dengan juknis ini, maka ada pedoman bagi tim dan juga masyarakat yang akan turun nanti melakukan validasi untuk mengklasifikasi mana rumah yang kategori rusak berat, sedang dan ringan,” sebutnya.
Desakan lain, lanjut mantan Ketua PMII Cabang Mamuju ini, agar dana stimulan Rp 209 miliar lebih tersbeut yang telah dibagi tiga ketegori agar didistribusi dengan memberikan kewenangan penuh kepada warga korban gempa untuk dikelola sendiri.
“Sebab ada kabar dan wacana yang berkembang, misalnya kategori rusak berat senilai Rp 50 juta akan dibangunkan oleh pihak ketiga. Jadi kita minta, warga korban sendirilah yang mengelola,” ucapnya.
Hal lain, kata Imat, terkai proses validasi juga harus bersifat partisifatif, sehingga publik dapat mengakses data tersebut.
“Jadi kalau ada kekeliruan dalam data, maka ada ruang untuk melaukan klarifikasi dan koreksi. Ini harus benar-benar dipeehatikan oleh Pemkab Mamuju, sebab kasihan warga kita yang jadi korban gempa jika ini tidak diperhatikan secara serius,” harap Imat.
Usai menggelar aksi di Pemkab Mamuju, massa kemudian bertolak ke titik kedua, di Kantor darurat Gubernur Sulawesi Barat. Mereka melayangkan dua poin tuntutan. Pertama, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menyalurkan dana bantuan rakyat Indonesia yang ditampung di kas daerah untuk korban gempa.
“Dana sekitar Rp 1,2 miliar bantuan dari rakyat Indonesia masih tersimpan. Tidak disalurkan. Dan justru disimpan di kas daerah. Ini kan bukan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Harusnya segera didistribusikan karena itu sumbangan warga,” tegas Imat.
Tuntutan kedua adalah kejelasan skema penyaluran bantuan untuk korban gempa senilai Rp 5 miliar, yang masing-masing Rp 2,5 miliar untuk Kabupaten Majene dan Rp 2,5 miliar untuk Kabupaten Mamuju.
“Skema penyaluran bantuan ini tidak jelas. Kami sudah minta ke Dinas Perkim dan BPBD untuk memperjelas skemanya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, ternyata juga tidak jelas skemanya. Pemprov hanya berdalih menunggu validasi data dari bawah. Harusnya kan jemput bola,” katanya.
Yang lebih parah, tambah Imat, 5 bulan pasca gempa bumi, alokasi APBD Sulbar untuk penanganan gempa sama sekali masih nol rupiah.
“Yang ada hanya percepatan pembangunan Kantor Gubernur Sulbar. Perlu diketahui, hingga saat ini masih ada Desa yang terisolir, belum optimal perhatian ke sana. Masa tanggap darurat dicabut Pemprov Sulbar, padahal harusnya ada dana untuk membuka akses ke sana. Harusnya serius penanganan pasca gempa ini,” ujar Imat.