BERPIKIR REFLEKTIF QURANI: Memposisikan Akidah dan Akal 03

Oleh: Dr. Muhammad Said, S.Th.I, M.Th.I (Dosen STAIN Majene)

Akidah merupakan sesuatu yang abstrak, kadar dan kualitasnya hanya dapat diketahui oleh Allah Swt. Terminologi al-Quran tentang akidah diidentikkan dengan iman, sehingga doktrin akidah adalah sesuatu yang sudah jelas dan pasti. Dalam Islam, Allah telah menggunakan sejumlah metode pengajaran akidah dalam al-Quran, seperti melalui penjelasan langsung tentang tauhid, kisah nabi terdahulu, umat yang disayangi dan dimurkahi, ilustrasi (tamtsil) dan lain-lain.
Metode pengajaran akidah yang selama ini dianggap belum mampu menghasilkan konsep yang ideal sesuai dengan idealisme al-Qur’an, karena disebabkan oleh pemahaman akidah yang belum komprehensif. Dualisme antara iman (akidah) dengan amal saleh masih menjadi belenggu, padahal imanlah tempat bergantungnya amal saleh. Olehnya itu, al-Quran dengan tegas melarang mencampur adukkan kebaikan dengan kebatilan, namun realitasnya, adanya sebagian orang rajin melaksanakan salat sebagai konsekuensi logis dari akidah, namun salatnya belum dapat memberikan pengaruh terhadap prilakunya.

Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhid dengan jelas menyatakan bahwa perbuatan manusia itu sesungguhnya ditentukan oleh akidahnya sendiri. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa al-Quran diturunkan untuk mempersaudarakan manusia atau mempersaudarakan akal dengan agama. Lalu mengapa ditemukan masih banyak umat Islam saling bermusuhkan dan saling membunuh? Jika demikian, berarti akidah (agama) tidak menjadi atau membawa kesalehan, kedamaian dan kesejahteraan pada dirinya.

Tidak menutup kemungkinan, akal bisa menjadikan agama sebagai sumber pertentangan jika akal tidak digunakan dengan baik, maka akal seharusnya dapat mengembangkan akidah untuk tunduk pada hakikat kebenaran agama yaitu menciptakan kesalehan, kedamaian dan persaudaraan dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu, pemahaman akidah juga harus mampu membawa kepada kesadaran akidah yang tidak hanya terbatas pada ucapan, akan tetapi dapat dibuktikan pada tindakan yang nyata dalam kehidupan sosial-keagamaan secara totalitas. Pemahaman seperti inilah yang disebut dengan “akidah nonverbal. Sementara akidah yang hanya dalam bentuk kata-kata dan ucapan, sedangkan sikap dan perbuatannya menyalahi aturan Allah walaupun telah melaksanakan ibadah, maka inilah yang diistilakan dengan “akidah verbal. Akidah semacam ini, menjadikan dirinya sebagai dualisme yaitu memelihara kebaikan sekaligus memelihara kejahatan dalam diri yang sama.

Salah satu penyebab munculnya pemahaman akidah verbal adalah karena menempatkan akal pada posisi yang rendah, yakni tidak menggunakan akal untuk melihat secara komprehensif esensi dari tujuan berakidah, sehingga yang terjadi adalah lahirnya klaim-klaim kebenaran, munculnya pemahaman ekstrim dan ikut-ikutan (taqlid) kepada pendapat orang lain. Olehnya itu, untuk menghindari pemahaman yang menyimpang dari akibat menempatkan akal pada posi rendah, maka seharusnya, model pengajaran akidah antara guru dengan murid bukanlah pengajaran yang bersifat dogmatis, akan tetapi dijadikan sebagai instrumen berpikir reflektif untuk menghasilkan suatu pemahaman yang pada akhirnya akal kitalah yang mengkompromisasikan pemahaman akidah dalam kehidupan sosial berdasarkan al-Quran dan hadis. (Majene, 01 September 2020).