SULBARONLINE.COM, Mamuju – Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menangkap Warga Negara Asing (WNA) asal Korea Selatan YKY (72). Tersangka dihadirkan dalam konferensi pers memakai rompi oranye di halaman Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Sulbar, Kamis (5/9/2024).
YKY diduga bertindak sebagai pemodal utama tambang pasir di kawasan hutan lindung, Desa Lariang, Kecamatan Tikke Raya, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.
Dirjen Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani menyebut pihaknya belum memastikan operasi tambang pasir tersebut didirikan atas nama perusahaan atau perorangan. Pihaknya masih mendalami kasus tambang tersebut yang telah beroperasi selama dua tahun untuk keperluan pembangunan di daerah itu.
“Sedang kami dalami semuanya, tapi sejauh ini kami melihat adalah perusahaan perorangan, dan setahu kami hasil tambang ini masih digunakan di Indonesia, tidak di ekspor ke luar negeri, mengenai kerugian berapa hektare kami masih melakukan penyidikan,” sebutnya.
Dalam operasi gabungan tersebut melibatkan, Dinas Kehutanan Provinsi Sulbar, Polda Sulbar, Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Kejati Sulbar, POM Korem 142/Tatag Mamuju.
Rasio mengatakan, sejauh ini pihaknya belum menerima surat resmi dari Kedutaan besar Korsel di Indonesia terkait bantuan perlindungan hukum oleh WNA YKY. Namun, ia menegaskan siapapun yang terlibat hal itu tidak akan mempengaruhi proses perkara hukum yang sedang berjalan.
“Sebelum kami menerima surat resmi Kedubes Korsel, bagi kami siapapun yang terlibat tindak kejahatan itu kami tetap akan proses. Banyal kasus yang kami tangani melibatkan WNA Asing, tidak hanya kasus ini,” tegasnya.
“Ini bisa saja bertambah tersangka yang lainnya, dan kami akan sampaikan dan kami datang langsung untuk melakukan press konference untuk memberikan penjelasan,” lanjutnya.
Dalam kasus ini, tim penegak hukum menyita barang bukti 4 unit alat berat ekskavator, 3 unit dump truck, dan 1 unit wheel loader. Pada kasus tambang pasir ini, pelaku diduga terlibat tindak pidana pencucian uang dan kejahatan lingkungan sehingga dilakukan penegakan hukum pidana berlapis.
Pelaku dijerat Undang Undang Lingkungan Hidup Nomor 32 tahun 2009, kemudian Pasal 78 ayat 3 juncto pasal 50 ayat 2 Undang Undang Nomor 4 tahun 1999 dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun kurungan penjara dan denda pidana sebanyak 7 Miliar.
(adr)