Pesan Moral Bahasa Mamuju Syarat akan Makna Kehidupan

PESAN moral peribahasa Mamuju mungkin asing terdengar, apalagi kota yang terbentuk 14 Juli tahun 1540 ini merupakan episentrum pembangunan di Provinsi Sulawesi Barat.

Jika ditelisik jauh, daerah ini sebetulnya sedikit tertinggal jauh dibandingkam dengan kabupaten lain seusianya. Namun tahukah kita dari sejarah dan peradabannya menyimpan kiasan ungkapan peribahasa luar biasa syarat akan makna.

Ungkapan ini sering digunakan melalui tubuh yang kemudian menggambarkan sifat, keadaan dan situasi.

Beberapa waktu lalu, Sulbar Online mencoba menggali lebih jauh dengan membincang bersama Tokoh Budayawan Mamuju, Abdul Rasyid Kampil, ia kemudian menyampaikan setidaknya tiga hal yang menggambarkan ungkapan perasaan dari tutur kata.

Tokoh Budayawan itu memulainya dengan kalimat “Bisse sara nisitimmangngi, lantosiriq nisikamungngi”. Ungkapan ini adalah sikap, ketegasan memandang persosalan. Sebuah arti kebersamaan menghadapi masalah yang diperhadapkan pada satu persoalan.

Siri‘ (Harga Diri), ya orang didaerah ini menganggap masalah harga diri harus digenggam bersama.

Kemudian satu bahasa kiasan yang paling menyentuh hati kita melalui pandangan mata. Mata sebagai alat untuk melihat bagi setiap manusia. Dengan itu kita bisa melihat indahnya dunia, dari mata kita juga bisa melihat keburukan seseorang bahkan penampilannya sekalipun. Tapi terkadang apa yang kita lihat belum tentu seperti apa yang kita lihat.

Ungkapan ini kemudian berbunyi, “Da’a mutangngar tuna batanna kenu’ kanuku lipa’na, tangngari rangngo riu’ bua nga-nganna”. Bermakna, sifat, sikap, dan karakter sesesorang tidak bisa dilihat dengan pandangan sekilas.

Dalam kehidupan sehari-hari janganlah kita memandang akan penampilan, kusut wajah seseorang, mungkin compang-camping kain lindung tubuhnya, tapi senantiasa menjaga tutur budi bahasanya.

Pelajaran penting dari pesan moral ini adalah hargailah setiap orang yang kamu temui, walaupun penampilan mereka biasa-biasa saja. Penampilan seseorang belum tentu menggambarkan kedudukan sosialnya.

Kemudian beliau melanjutkan, Kalimat terakhir, “Maiko randang palaiko pota” atau palaiko pota maiko randang”. yang berarti menyingkirkan segala yang tidak baik, dan mengambil sesuatu yang baik.

Sesuatu yang kotor, tidak baik, pergilah jauh-jauh. Maiko randang, semua kebaikan datanglah. Pesan yang disampaikan Tokoh Budayawan ini sungguh memiliki kekuatan besar masyarakat Mamuju pada khususnya dan Sulawesi Barat, dan kalimat ini juga menjadi penyokong semangat dari paku hingga suremana. Malaqbiq Karakter masyarakat Sulawesi Barat yang berkenyataan.

Melalui ungkapan-ungkapan kebahasaan, lahirlah ciri Malaqbiq itu. Gemulai tangan mengayuh, derap kaki melangkah, tutur budi bahasa, tiga seuntai tak terpisahkan.

Malaqbiq mungkin terasa asing, jika dipahami, sangatlah sederhana, itu filosofi ideal bagi kehidupan histori kebudayaan Sulbar, <span;>Malaqbiq<span;> sebuah karakter kehidupan yang segenap masyarakat Sulbar dambakan. Malaqbiq adalah nilai kebaikan, setiap apa yang kita kerjakan, dan apa yang kita lakukan haruslah dengan hati yang tulus.