AJI Kota Mandar Dialog Publik Peringati Hari Kebebasan Pers Internasional, Kekerasan Terhadap Wartawan Masih Terjadi?

SULBARONLINE.COM, Mamuju – Provinsi Sulawesi mencatatkan Indeks Kebebasan Pers (IKP) sebesar 82,53 Persen atau cukup bebas tahun 2022 lalu, Sulbar peringkat empat secara nasional. Momentum Hari Kebebasan Pers pada tanggal 3 Mei Lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mandar menggelar rangkaian kegiatan hari kemerdekaan pers sedunia (WPFD) 2023.

Tema nasional bertajuk “25 tahun reformasi dan kemunduran kebebasan pers di Indonesia”. Di Sulbar, AJI Kota Mandar mengangkat tema “Menakar Kebebasan Pers di Sulawesi Barat”, bertempat di Warkop Ruang Rindu Mamuju, Senin Malam (22/5/23).

PJ Gubernur Sulawesi Barat, Prof Zudan Arif Fakrulloh, Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Sulbar Irjen Pol Verdianto Biticaca, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulbar, Muhammad Naim hadir kegiatan tersebut ditambah perwakilan organisasi Pers, kemahasiswaan, dan kepemudaan.

AJI Kota Mandar menekankan komitmen mekanisme yang baik terhadap kekerasan Jurnalis untuk lembaga penegak hukum. Meski Provinsi ini berpredikat cukup bebas, penerapan Undang-undang 40 Tahun 1999 perlu ditegakkan mengingat kasus kekerasan masih terjadi.

“Tetapi Kami AJI ingin, pertama kemerdekaan pers di subar kita harus mendapat komitmen bersama untuk mendukung dan menjamin hal ini,” jelas Ketua AJI Kota Mandar Rahmat FA.

“Kedua sepanjang tahun 2017 ada kasus kekerasan jurnalis, hasilnya kita lihat sendiri aparat penegak hukum menjadi catatan AJI, tahun depan tidak ada lagi kekerasan, dan kalau ada kita harus menguji lagi UU Nomor 40 itu,” lanjutnya

Kapolda Sulbar Irjen Pol Verdianto Biticaca menyebut kebebasan pers itu adalah buah reformasi, wartawan berkedudukan sama profesi lain. Tugasnya berbeda, pers pilar keempat demokrasi menjalankan prinsip kontrol sosial.

“Kita sepakat pers adalah pilar keempat, jadi saya kira kedudukan kita sama. Semua kita dapat informasi dan data sebagai corong dan pusat pendidikan, bagaimana sosial kontrol bisa berjalan dari tiga pilar lain. Kadang kala kita bisa bercermin ke diri sendiri,” ungkapnya.

Verdianto Biticaca menjelaskan Pers membentuk opini publik, meskipun data dan faktanya sama tapi mempunyai persepsi masing-masing. Dalam penegakan hukum kebebasan tetap diatur, pelaku kekerasan dijerat bila unsur terpenuhi.

“Tapi tidak ada kebebasan yang mutlak, sehingga perlu ada aturan. Jadi saya kira menghormati pers komitmen kami mendukung dengan menjerat apabila itu terjadi, tetapi jangan dipaksakan apabila unsurnya belum terpenuhi, termasuk kepada jajaran kami, dan memang ini perlu edukasi,” tuturnya.

Minimnya pengetahuan masyarakat, menimbulkan gesekan, bentuknya adalah intimidasi dan menimbulkan kekerasan. Hal ini menggambarkan pemahaman masyarakat masih kurang padahal UU tersebut mengatur secara sederhana bahwa Pers memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi.

“Jadi mungkin kami sosialisasinya belum massif, tentang makna undang-undang Nomor 40. Tetapi ini masalah literasi, saya yakin memenuhi jika unsur kita terapkan, kedepan pasti kita terapkan. Jadi bisa disikapi dengan bijak, kami mendukung teman-teman wartawan peliputan sebagai partner yang baik,” jelasnya.

Pj Gubernur Sulawesi Barat, Prof Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, Jurnalis adalah profesi  kerap mengalami tindak kekerasan, namun hal yang sama juga dialami profesi lain.

“Tentu kita harus melihat profesi yang lain, kerasa fisik, psikis, yang paling hati-hati adalah kekerasan perempuan, guru dan perawat contohnya,” sebut Prof Zudan.

Ia mengajak insan pers untuk secara bersama membangun komitmen. Kerja-kerja jurnalis mesti membedakan opini dan fakta.

“Kebebasan pers ada pilarnya, fakta harus diberitakan secara fakta, opini ya opini, pendapat wartawan ya pendapat wartawan. Yang namanya fakta bukan pendapat, jadi cara berfikir besar itu membangun masyarakat Madani,” tegasnya.

Penyajian informasi di era 4.0 dan proses komunikasi yang mengarah pada isu-isu spesifik dari situasi konflik dan setiap dimensi krisis secara mendalam sehingga tidak memperluas dan semakin membuat ruwet interpretasi dan pemaknaan publik yang bisa semakin mengacaukan situasi.

“Ketika kita masuk dalam era teknologi informasi, sangat memanfaatkan teknologi, yang perlu kita cermati dengan pendekatan dengan cara berfikir tidak sama, Karena bisa menimbulkan konflik, yang membaca masyarakat sedang belajar memahami persoalan,” urainya.

Sudirman Samual mantan Ketua AJI Kota Mandar periode 2012-2017 saat ini sebagai ketua majelis ketua pertimbangan organisasi, menyebutkan sejumlah kasus kekerasan wartawan namun pihak penegak hukum dinilai tidak mekanisme prosedur UU Nomor 40 tahun 1999.

“Kami pernah melakukan advokasi ke Kepolisian namun advokasi kami lakukan tidak pernah ditangani sesuai dengan UU nomor 40, dan hanya menjadi tidak pidana umum bahkan tindak pidana ringan dengan hukuman sangat minimal,” tegasnya.

Fakta ini kemudian menjadi ancaman tanpa ketegasan aparat penegak hukum. Sisi lain kebebasan pers tidak kebal hukum terhadap tugas dan tanggungjawab. Hal ini ikut diperparah kejatahan teknologi disebut Doxxing.

“Meskipun di Sulbar masih stabil secara angka soal kekerasan tahun 2022 mengalami penurunan namun kita perlu jeli kekerasan fisik kekerasan digital Doxxing perhatian kita bersama, kita harapkan dibidang IT Polda Sulbar bersama kedepan untuk memberi perlindungan kepada kawan-kawan jurnalis,” (Adr).